“Krisis ekologi terjadi karena manusia kehilangan bimbingan spiritual. Padahal, ajaran agama menempatkan alam sebagai bagian dari tanda kebesaran Tuhan yang harus dihormati, bukan dieksploitasi,” tegasnya.
Oleh karena itu, gagasan ekoteologi Islam diharapkan menjadi kontribusi besar Indonesia bagi dunia.
“Kita tidak hanya ingin menerapkan konsep ekoteologi di Indonesia, tetapi juga memperkenalkan gagasan besar ini kepada dunia internasional,” ujar Menag.
Menag mengibaratkan hadirnya buku Tafsir Ayat-Ayat Ekologi sebagai “bayi kecil” yang baru lahir. Ia berharap karya ini dapat berkembang menjadi proyek besar di masa depan.
“Kita bersyukur atas lahirnya karya ini. Tahun depan, saya berharap buku ini berkembang menjadi empat jilid lengkap dengan data kuantitatif dan riset ilmiah,” ujarnya.
Ia juga mendorong agar tafsir ini tidak berhenti di ranah wacana, tetapi diimplementasikan ke dalam sistem pendidikan Islam. Menurutnya, perlu ada kurikulum ekoteologi yang mengajarkan pentingnya menjaga alam sebagai bagian dari ibadah.
“Saya minta agar buku ini dijadikan bahan pembelajaran di berbagai lembaga pendidikan. Kita bisa mengembangkan fikih lingkungan, ushul fikih lingkungan, bahkan menambahkan satu prinsip baru dalam kulliyatul khams, yaitu hifzhul bī’ah, menjaga alam,” tambahnya.
Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM Kemenag, Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani, menegaskan bahwa peluncuran buku ini sejalan dengan program prioritas Kemenag dalam memperkuat kesadaran ekoteologi di masyarakat.
Menurutnya, hubungan antara manusia dan alam bukanlah relasi eksploitasi, melainkan amanah ilahi.
“Kesadaran ekoteologis harus berangkat dari pemahaman spiritual bahwa bumi adalah titipan Tuhan. Buku ini merupakan kontribusi penting dalam khazanah tafsir Al-Qur’an di Indonesia sekaligus sumbangan bagi kesadaran ekologis global,” jelasnya.
Peluncuran buku ini menjadi momen penting untuk menegaskan kembali peran agama dalam menghadapi krisis lingkungan global.
Berdasarkan laporan IPCC 2023, suhu bumi telah meningkat lebih dari 1,1°C dibandingkan masa pra-industri. Dampaknya kini nyata—dari cuaca ekstrem, krisis pangan, hingga menurunnya keanekaragaman hayati.
Sementara itu, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan lebih dari 175 ribu hektar hutan pada tahun 2024, menjadikannya salah satu laju deforestasi tercepat di dunia.
Dalam konteks ini, perspektif ekoteologi Islam menghadirkan harapan baru. Alam bukan sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi memiliki nilai intrinsik dan tujuan penciptaannya sendiri.
Buku Tafsir Ayat-Ayat Ekologi dapat diakses secara digital melalui situs resmi https://pustakalajnah.kemenag.go.id.
Artikel Terkait
Upaya Cegah Konflik, Menag: Rekontekstualisasi Hukum Agama dan Fikih Mutlak Dilakukan
Kukuhkan Pengurus BKM, Menag: Jaga Masjid dari Politisasi
Menag Laporkan 100 Persen Jemaah Sudah Lunasi Biaya Haji Reguler
Lepas Keberangkatan Jemaah Haji, Ini Pesan Menag Yaqut Cholil Qoumas
Menag Nasaruddin Umar Klarifikasi dan Minta Maaf soal Pernyataan tentang Guru
Sertifikasi Guru Tuntas, Menag Nasaruddin Umar Tegaskan Negara Hadir Sepenuhnya
Menag Jenguk Korban Robohnya Majelis Taklim Ashobiyyah di Bogor
Capaian Opini WTP ke-9, Menag: Program Kemenag Harus Menjawab Kebutuhan Rakyat
Mantan Menag Lukman Hakim Beberkan Alasan Dibalik Mendesaknya Pembentukan Ditjen Pesantren
Bersama Basarnas dan Pemda, Menag Kawal Penanganan Korban Ambruknya Bangunan