AYOYOGYA.COM - Pagi itu, suara canting yang meneteskan malam cair terdengar lembut di sela desir angin dari perbukitan Imogiri. Di sebuah rumah sederhana di Dusun Giriloyo, seorang bocah laki-laki berjalan kaki menuruni jalan berbatu dan menembus kabut. Di tangan mungilnya, tergantung gulungan kain batik yang harus segera diserahkan ke rumah para juragan. Bocah itu adalah Nur Ahmadi kecil, yang setiap hari membantu ibunya membatik demi uang saku sekolah. “Dulu upahnya cuma tiga puluh ribu rupiah,” kenang pria berusia 47 tahun itu lirih. Kini, upah itu meningkat menjadi seratus ribu rupiah untuk satu lembar batik yang diselesaikan dalam seminggu.
Batik bagi warga Wukirsari bukan sekadar pekerjaan, tetapi napas kehidupan yang diwariskan turun-temurun. Dari nenek, ibu, hingga cucu, membatik adalah cara mereka berdoa dalam garis-garis canting dan warna alam. Namun, pada 27 Mei 2006, gempa dahsyat mengguncang Bantul dan menghentikan seluruh aktivitas membatik. Rumah-rumah roboh, alat rusak, para juragan batik pergi meninggalkan desa. Dalam hening pasca bencana, batik Giriloyo nyaris kehilangan denyutnya.
Ketika Batik Giriloyo Kembali Bernafas
Namun dari reruntuhan itu, muncul tekad baru. Nur Ahmadi, yang saat itu baru beranjak dewasa, bergabung dengan beberapa pendamping dan LSM untuk menghidupkan kembali tradisi membatik. Ia mengikuti pelatihan dari Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jaika Jepang, dan Jogja Heritage Society. “Kami mulai dari nol lagi. Dari empat kelompok batik, tumbuh jadi dua belas. Lalu kami bentuk Paguyuban Batik Giriloyo, dan saya jadi anggota paling muda,” ujarnya.
Pada tahun 2009, bersama rekan-rekannya, ia memutuskan untuk tidak hanya menjual kain, tetapi juga menjual pengalaman. Mereka merancang konsep desa wisata berbasis edukasi dan ekowisata, di mana wisatawan bisa belajar membatik, menikmati kuliner lokal, hingga menginap di rumah warga.
Tapi perjalanan itu tak mulus. “Awal-awal itu kami menyebutnya masa puasa,” tutur Ahmadi. “Sehari ada tamu, sehari enggak.” Tahun-tahun pertama Desa Wisata Wukirsari berjalan tanpa kepastian. Namun pelan-pelan, kerja keras itu membuahkan hasil. Wisatawan mulai berdatangan, tak hanya dari Yogyakarta, tapi juga dari luar negeri yang ingin belajar membatik langsung di tangan para perajin.
Kini, 634 warga Wukirsari terlibat aktif sebagai pembatik, pemandu wisata, dan pengelola homestay. Pembagian kerja pun lintas generasi: anak muda menggambar desain, ibu-ibu mengisi titik halus dan garis kecil, sementara para lelaki bertugas mewarnai kain dengan tenaga kuat. “Setiap tahap ada tangannya masing-masing, tapi semua satu semangat: menjaga batik tetap hidup,” kata Ahmadi.
Di antara para pembatik tua, nama Mbah Suhir, yang kini berusia 96 tahun, menjadi simbol keteguhan. Meski renta, tangannya masih lincah memegang canting. “Setiap Hari Batik, kami undang beliau untuk bercerita dan memotivasi anak-anak muda. Karena beliau membatik bukan untuk hidup, tapi hidup untuk membatik,” kata Ahmadi.
Anak-anak muda kini memang lebih sering memegang gawai ketimbang canting. Namun lewat pelajaran muatan lokal di sekolah dan program desa, semangat membatik mulai kembali menetes di generasi baru. “Durasinya memang sedikit, tapi mereka tetap tahu bahwa batik ini darah kita,” ujarnya.
Baca Juga: Batik Benang Raja: Menyajikan Kebahagiaan Berbatik untuk Semua Kalangan Masyarakat
Dari Digitalisasi ke Dunia: Sentuhan Astra di Wukirsari
Titik balik besar datang ketika Astra turun tangan melalui program desa binaan. “Astra itu memberikan bantuan pelatihan membatik, satu rumah limasan, dan pelatihan digitalisasi,” jelas Ahmadi. Dari situ, Desa Wisata Wukirsari masuk ke era baru: era digital.
Sebelum digitalisasi, pada 2019 jumlah wisatawan mencapai 29 ribu. Lalu pandemi membuat semuanya jatuh menjadi nol. Namun setelah Astra memberikan pelatihan digitalisasi pada 2022 dan melibatkan anak-anak muda hingga bisa berkolaborasi dengan YouTuber seperti Jeromi Polin, jumlah kunjungan naik kembali menjadi 24 ribu wisatawan. Setahun kemudian, pada 2023, kunjungan meningkat pesat hingga 40 ribu wisatawan. “Itu luar biasa. Dari nggak ada sama sekali, bisa hampir kembali seperti semula,” tutur Ahmadi penuh syukur.