Rekomendasi lainnya adalah pembentukan mekanisme mediasi sosial politik dengan melibatkan pemangku kepentingan lokal, termasuk Kesultanan Tidore, tokoh masyarakat, dan perwakilan warga. Mekanisme ini dipandang penting untuk mengurangi potensi konflik sekaligus memperkuat legitimasi kebijakan yang akan diambil.
Sebagai penutup, paradoks Sofifi sebagai “ibu kota tanpa otonomi” dinilai mencerminkan lemahnya sinkronisasi antara regulasi, kebijakan fiskal, dan realitas administratif di lapangan. Solusi yang ditawarkan bukan sekadar pilihan “DOB atau tidak”, melainkan rangkaian kebijakan pragmatis yang menempatkan pelayanan publik, efektivitas pemerintahan, dan stabilitas politik sebagai prioritas utama.
Jika dikelola dengan kajian hukum dan fiskal yang kuat serta mekanisme partisipatif yang inklusif, Sofifi dinilai berpotensi berkembang sebagai ibu kota provinsi yang fungsional tanpa menimbulkan konflik institusional baru.**
Artikel Terkait
Mahasiswi UGM yang Hilang 2 Minggu Saat Mudik Lebaran Ditemukan Meninggal Dunia, Kondisinya Begini
FK-KMK UGM Canangkan Zona Integritas untuk Ciptakan Kampus Bersih, Aman, dan Beretika
UGM Trail Run 2025 Siap Digelar September Mendatang, Targetkan 2.000 Pelari
Summer Course 2025 FK-KMK UGM Angkat Isu Kanker sebagai Tantangan Global Kesehatan
Kolaborasi FEB UI, UGM, dan BRI Insurance Dorong Profesionalisme BUMDes Bidang Peternakan
Merck Young Scientist Roadshow 2025 Hadir di UGM, Dorong Generasi Muda Berkiprah di Dunia Riset
Kolaborasi Roche Indonesia dan FK-KMK UGM Perkuat Skrining Retinopati Diabetik Berbasis Teknologi
AI Center UGM Diresmikan, Telkom: ‘Magic Will Happen’ Saat Kampus dan Industri Bersatu
Jasindo Perluas Literasi Manajemen Risiko, Sasar Mahasiswa Sekolah Vokasi UGM
Pameran Seni Botani UGM Dorong Pelestarian Alam dan Pengembangan Ekonomi Kreatif