AYOYOGYA.COM – Penetapan Sofifi sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara hingga kini masih menyisakan persoalan mendasar dalam sistem pemerintahan daerah. Meski secara formal menjadi pusat administrasi provinsi, Sofifi belum berstatus sebagai daerah otonom tersendiri. Kondisi tersebut menyebabkan kewenangan pemerintahan, pengelolaan anggaran, dan pelayanan publik berjalan tidak optimal serta kerap terhambat oleh tumpang tindih regulasi.
Hal itu disampaikan oleh Moh. Yazid S. Hasi, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam kajian bertajuk Ibukota Tanpa Otonomi: Membaca Paradoks Sofifi dalam Sistem Pemerintahan Daerah. Dalam kajian tersebut, Sofifi disebut berada dalam situasi paradoks karena menjalankan fungsi strategis sebagai ibu kota tanpa dukungan struktur pemerintahan lokal yang mandiri.
Menurut kajian tersebut, persoalan Sofifi tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mencakup dimensi hukum, fiskal, dan politik. Secara yuridis, Undang-Undang (UU) Nomor 46 Tahun 1999 telah menetapkan Sofifi sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara. Sejak 2011, arah kebijakan pembangunan provinsi pun difokuskan untuk menjadikan Sofifi sebagai pusat pemerintahan.
Namun dalam praktiknya, posisi Sofifi sebagai ibu kota provinsi tidak diikuti dengan pembentukan daerah otonom yang setara.
"Hingga kini, Sofifi masih berada dalam struktur administrasi Kota Tidore Kepulauan yang dibentuk melalui UU Nomor 1 Tahun 2003. Keberadaan dua undang-undang yang saling bersinggungan tersebut dinilai menciptakan ketidakpastian kewenangan, khususnya dalam pengelolaan pembangunan wilayah dan penyediaan pelayanan publik," katanya, Jumat (19/12/2025).
Ketidakpastian tersebut berdampak langsung pada tata kelola pemerintahan di Sofifi. Sebagai ibu kota provinsi, kawasan ini memikul beban simbolik dan administratif, namun secara kelembagaan tetap bergantung pada pemerintah daerah induk. Akibatnya, perencanaan pembangunan, distribusi anggaran, serta pengambilan keputusan strategis kerap berjalan tidak sinkron.
Dari perspektif politik pemerintahan daerah, perbedaan kepentingan antara Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan turut memperumit persoalan. Usulan pemekaran Sofifi menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) dinilai oleh sebagian pihak sebagai solusi untuk mempercepat pembangunan infrastruktur serta meningkatkan akses pelayanan publik yang selama ini dinilai stagnan.
Sebaliknya, Pemerintah Kota Tidore Kepulauan menolak pemisahan wilayah tersebut. Penolakan tersebut didasarkan pada pertimbangan fiskal, terutama potensi berkurangnya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang selama ini menjadi sumber pendanaan utama daerah. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan politik lokal masih sangat dipengaruhi oleh perhitungan fiskal dan keseimbangan kekuasaan birokrasi.
Kajian tersebut juga mencatat adanya kesenjangan antara diskursus elite dan persepsi masyarakat. Bagi sebagian warga, wacana pemekaran Sofifi tidak hanya dipahami sebagai perubahan status administratif, tetapi juga sebagai upaya membuka akses terhadap peluang ekonomi, lapangan kerja, dan layanan dasar yang selama ini belum merata. Pemekaran kemudian dipersepsikan sebagai jalan menuju keadilan dalam sistem otonomi daerah.
Namun demikian, kritik juga mengemuka bahwa dorongan pemekaran kerap didominasi oleh kepentingan politik elite. Pemekaran wilayah dinilai berpotensi menjadi sarana memperluas patronase birokratik dan penguasaan sumber daya. Pola tersebut sejalan dengan fenomena yang terjadi di banyak daerah lain di Indonesia, di mana kebijakan pemekaran sering kali lebih dipengaruhi oleh dinamika elite ketimbang aspirasi masyarakat secara langsung.
Dalam konteks tersebut, tantangan utama dalam menyikapi wacana DOB Sofifi tidak hanya terletak pada pemenuhan persyaratan hukum dan administratif. Tantangan yang lebih besar adalah membangun legitimasi sosial dan politik yang inklusif. Konflik berkepanjangan antara elite pemerintahan provinsi, pemerintah kota, dan masyarakat lokal menunjukkan bahwa agenda pemekaran belum sepenuhnya menjembatani kepentingan yang beragam.
Kajian tersebut menilai bahwa tanpa konsensus politik yang kuat, diperlukan pendekatan kebijakan alternatif untuk keluar dari paradigma “ibu kota tanpa otonomi”. Beberapa opsi yang disoroti antara lain penetapan Status Kawasan Khusus Ibu Kota Provinsi (non-DOB) dengan pembentukan Badan Otorita yang memiliki mandat hukum jelas dalam pengelolaan infrastruktur, perencanaan kawasan, dan koordinasi anggaran lintas otoritas.
Selain itu, revisi pasal-pasal regulasi yang menimbulkan ambiguitas hukum juga dinilai penting untuk menjaga konsistensi administratif dan memperjelas status kawasan ibu kota. Langkah tersebut menuntut dialog legislatif antara DPRD provinsi, DPR RI, dan pemerintah pusat.
"Pemetaan fiskal yang komprehensif juga diperlukan sebelum memutuskan pemekaran, mencakup kajian APBD, potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta kesiapan sumber daya aparatur," ujarnya.
Artikel Terkait
Mahasiswi UGM yang Hilang 2 Minggu Saat Mudik Lebaran Ditemukan Meninggal Dunia, Kondisinya Begini
FK-KMK UGM Canangkan Zona Integritas untuk Ciptakan Kampus Bersih, Aman, dan Beretika
UGM Trail Run 2025 Siap Digelar September Mendatang, Targetkan 2.000 Pelari
Summer Course 2025 FK-KMK UGM Angkat Isu Kanker sebagai Tantangan Global Kesehatan
Kolaborasi FEB UI, UGM, dan BRI Insurance Dorong Profesionalisme BUMDes Bidang Peternakan
Merck Young Scientist Roadshow 2025 Hadir di UGM, Dorong Generasi Muda Berkiprah di Dunia Riset
Kolaborasi Roche Indonesia dan FK-KMK UGM Perkuat Skrining Retinopati Diabetik Berbasis Teknologi
AI Center UGM Diresmikan, Telkom: ‘Magic Will Happen’ Saat Kampus dan Industri Bersatu
Jasindo Perluas Literasi Manajemen Risiko, Sasar Mahasiswa Sekolah Vokasi UGM
Pameran Seni Botani UGM Dorong Pelestarian Alam dan Pengembangan Ekonomi Kreatif