Masyarakat Sipil Indonesia Desak Transparansi dan Keberpihakan Pendanaan Iklim di COP30

photo author
- Minggu, 23 November 2025 | 15:58 WIB
Perwakilan berbagai organisasi sipil ikut hadir mengamati negosiasi di COP30 dan berpose di depan pavilion Indonesia. (dok.)
Perwakilan berbagai organisasi sipil ikut hadir mengamati negosiasi di COP30 dan berpose di depan pavilion Indonesia. (dok.)

JAKARTA, AYOYOGYA.COM – Di tengah berlangsungnya Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, berbagai organisasi masyarakat sipil Indonesia kembali menyoroti pentingnya transparansi serta keberpihakan dalam pendanaan iklim global. Isu utama yang diangkat adalah perlunya alokasi dana yang adil dan memastikan kelompok adat serta komunitas paling rentan memperoleh akses langsung terhadap manfaat ekonomi.

Dalam sesi “Scaling Landscape Restoration”, Penasehat Utama Menteri untuk Menteri Kehutanan, Edo Mahendra, menegaskan kembali posisi Indonesia mengenai pembiayaan iklim. Ia menyampaikan bahwa pemerintah berkomitmen memperkuat tata kelola pendanaan yang akuntabel dan selaras dengan target global.

“Terbitnya Peraturan Nomor 110 Tahun 2025 adalah komitmen Indonesia membangun pasar karbon berintegritas tinggi untuk menguatkan daya saing Indonesia baik dari aspek lingkungan, ekonomi, serta sosial,” jelasnya.

Baca Juga: DPD dan PWI Pusat Sepakat Sukseskan HPN 2026

Edo juga menekankan pentingnya mendorong aliran pembiayaan menuju ekonomi hijau. Salah satunya melalui kolaborasi internasional.

“Salah satu bentuk komitmennya adalah dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Kementerian Kehutanan Indonesia dan Integrity Council for the Voluntary Carbon Market untuk peningkatan transparansi dan kredibilitas mekanisme pasar karbon,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, Paul Butarbutar, menyoroti pentingnya akuntabilitas dalam setiap pembiayaan proyek. “Akuntabilitas adalah pondasi dalam kerangka transisi berkeadilan selain hak asasi manusia serta kesetaraan gender dan pemberdayaan,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa skema JETP Indonesia merupakan salah satu inisiatif pembiayaan transisi energi individu terbesar di dunia. Paul juga menguraikan target mobilisasi dana yang diusung JETP.

“Target bersama Joint Statement JETP adalah memobilisasi total 20 miliar dolar yang terbagi rata antara pembiayaan publik dan swasta dengan perincian 10 miliar dolar dimobilisasi oleh anggota International Partners Group dan sisanya difasilitasi oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero,” kata Paul.

Lebih lanjut ia menekankan pentingnya prinsip keadilan serta inklusivitas. Transisi energi, tegasnya, harus memastikan leave no one behind.

Dari perspektif hukum lingkungan, Marsya M. Handayani, Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup & Pengendalian Pencemaran ICEL, menilai bahwa transparansi pendanaan iklim baik domestik maupun internasional masih belum memadai. Ia mengapresiasi keberadaan BPDLH dan ICCTF sebagai pengelola dana, namun menilai masih ada tantangan besar dalam akses informasi publik.

“Data penerimaan dan penggunaan dana iklim seharusnya dapat diakses dengan mudah dan diupdate secara berkala, paling tidak annually,” jelas Marsya.

Kritik lebih tajam datang dari Elok F. Mutia, Associate Campaign Director Purpose sekaligus inisiator indonesiadicop.id. Ia menilai diplomasi Indonesia pada COP30 belum menunjukkan keberpihakan kuat terhadap masyarakat.

Baca Juga: Kasus KUR Muara Enim: 7 Orang Resmi Jadi Tersangka, Kejati Sumsel Lakukan Penahanan

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Vatikan Umumkan Kondisi Paus Fransiskus Kritis

Senin, 24 Februari 2025 | 07:49 WIB
X