"Indonesia memang aktif selama COP, terutama mengenai perdagangan karbon dan pendanaan iklim, tetapi dua keputusan besar yang sudah diteken di COP30 justru memperlihatkan minimnya keterbukaan,” jelasnya.
Mutia menyinggung dua keputusan penting yaitu perjanjian perdagangan karbon melalui Article 6.2 dengan Norwegia yang dinilainya berisiko karena minim penjelasan publik, serta komitmen pendanaan satu miliar dolar untuk Tropical Forests Forever Facility (TFFF) yang dinilai belum jelas dari sisi tata kelola hingga jaminan perlindungan hak masyarakat adat. Ia mengingatkan bahwa banyak kelompok masyarakat sipil global menilai TFFF terlalu berfokus pada finansialisasi hutan.
Sebagai salah satu perwakilan masyarakat sipil yang mengikuti COP30 hingga penutupan, Mutia menekankan harapan besar terhadap pemerintah Indonesia. Ia menyerukan keterbukaan proses serta keberpihakan yang nyata bagi masyarakat terdampak.
“Dan yang paling penting memastikan suara masyarakat adat dan komunitas lokal mendapat ruang yang layak dalam proses transisi energi dan perlindungan hutan,” tegasnya.***
Artikel Terkait
Obligasi Berkelanjutan Rp5 Triliun dari BNI, Inisiatif Besar untuk Lingkungan dan Masyarakat
Road to MJM 2025, Bank Mandiri Perkuat Komitmen Sosial dan Lingkungan untuk Masyarakat di Yogyakarta
Tak Hanya Untung, Tapi Juga Bertanggung Jawab: ESG Rating BNI Naik Berkat Kepedulian Lingkungan dan Sosial
UMKM Surabaya Bangun Bisnis Hijau, BRI Dorong Popok Ramah Lingkungan Go Nasional
Dukung Lingkungan Berkelanjutan, BRI Beri Pelatihan Pupuk Kompos untuk TPS3R
Hari Santri 2025: Generasi Santri Jadi Garda Depan Gizi, Kesehatan, dan Lingkungan
Dari Kitab Kuning hingga Ekoteologi, MQK Internasional Usung Islam Ramah Lingkungan
Dari TMII untuk Dunia, Kemenag Rilis Tafsir Al-Qur’an tentang Lingkungan Hidup
Kalam Kudus Fair 2025 Jadi Ajang Edukasi Lingkungan dan Aksi Nyata Dukung Yogyakarta Bebas Sampah