Baca Juga: 5 Oleh-Oleh Khas Jogja yang Harus Kamu Bawa Pulang
Kebanggaan itu juga dirasakan Susilo Hapsoro, Lurah Wukirsari. Ia menyadari, penghargaan ini bukan hasil kerja satu-dua tahun, melainkan buah dari konsistensi warga yang tak pernah berhenti membatik, meski zaman berubah.
“Budaya membatik di sini sudah ada sejak masa Sultan Agung, ketika beliau membangun makam raja-raja Mataram di Imogiri. Kini ada 643 pembatik aktif yang tersebar di tiga padukuhan; Cengkehan, Giriloyo, dan Karangkulon,” tuturnya.
Kini, setiap kali Nur Ahmadi melintasi jalan berbatu menuju rumah lamanya, ia teringat masa kecil ketika harus mengayuh sepeda sambil membawa kain batik untuk ibunya. Bedanya, kini ia mengayuh bukan lagi membawa hasil kerja, tapi membawa nama besar desanya yang harum ke penjuru negeri. “Dulu kami membatik karena terpaksa,” katanya dengan mata menerawang, “sekarang kami membatik karena bangga.”