Mereka kemudian mengutip ajaran Antonio Gramsci, pemikir yang sangat sering dikutip oleh Ari Dwipayana mengenai kaum intelektual tradisional dan intelektual organik.
Intelektual tradisional adalah sekelompok intelektual yang membantu melegitimasi kekuasaan kelas penguasa.
Para intelektual tradisional ini menjadi alat para penguasa dalam mengokohkan konsolidasi mereka atas kekuasaan, dan dalam konteks saat ini, intelektual hanya menjadi instrumen penjustifikasi bagi penguasa dalam melegitimasi kebijakan yang cenderung mendorong kemunduran demokrasi.
Intelektual organik didefinisikan Gramsci sebagai
intelektual yang kritis pada kekuasaan, berpikir bebas, dan berlandaskan nilai kemanusiaan. Intelektual organik memang bisa menjadi ancaman utama terhadap ambisi-ambisi licik kelas penguasa. Mereka mampu menyadari segala niat busuk penguasa yang berlindung dibalik diksi “stabilitas,” yang sejatinya bermakna stabilitas bagi upaya konsolidasi kekuasaan yang semena-mena.
Mereka juga mengutip ajaran Cornelis Lay (Conny) tentang “intelektual jalan ketiga,” yakni jalur alternatif ini adalah jawaban dari peran yang
dilematis bagi para intelektual untuk menjadi bagian dari kekuasaan, atau menjauhinya atas dasar nilai kemanusiaan. Conny merupakan kolega Pratikno dan guru dari Ari Dwipayana.
Untuk bisa leluasa dengan aksesibilitas keluar masuk kekuasaan, Conny menekankan penilaian
yang matang dan menyeluruh dengan berlandaskan pada integritas keilmuan dan kredibilitas bagi kaum intelektual.
Poin utamanya adalah bagaimana para intelektual bisa bersahabat dengan kekuasaan tetapi tetap membawa nilai dasar intelektual, demi kepentingan pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan.
"Jalur intelektual jalan ketiga ini bagi kami adalah jalur yang ideal bagi para akademisi yang
memutuskan untuk mengambil peran dalam kekuasaan tanpa mengkhianati nilai-nilai prinsipal yang dipegang. Jalur itulah yang seharusnya diyakini dengan teguh oleh setiap akademisi, saat mereka memberanikan diri naik ke panggung kekuasaan," ungkap isi surat tersebut.
Mahasiswa Fisipol UGM menyebut segala permasalahan terkait kemerosotan demokrasi adalah permasalahan sistemik yang disebabkan oleh banyak aktor, namun mereka menyadari bahwa Pratikno dan Ari Dwipayana menjadi bagian dari persoalan itu.
"Untuk itu, ijinkan kami mewakili Pak Tik dan Mas Ari menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas hal itu," bunyi surat tersebut.
Pada bagian akhir surat, mahasiswa Fisipol UGM menyebut Pratikto dan Ari Dwipayana adalah guru, rekan, sahabat, kerabat, dan bapak yang dipanggil pulang oleh anak-anak didiknya.
"Hari ini kami berseru bersama: kembalilah pulang. Kembalilah membersamai yang tertinggal, yang tertindas, yang tersingkirkan. Kembalilah ke demokrasi; dan kembalilah mengajarkannya kepada kami, dengan kata dan perbuatan," ungkap mahasiswa Fisipol UGM menutup surat tersebut. (*