“Sebagian besar pembatik adalah perempuan yang bekerja dari rumah atau di kelompok kecil. Banyak di antara mereka berstatus pekerja harian tanpa jaminan sosial. Kalau hari itu tak ada pesanan, ya tak ada penghasilan,” ungkapnya.
Karina juga menyinggung persoalan lingkungan di sentra-sentra batik seperti Pekalongan dan Laweyan. Pergeseran dari pewarna alami ke bahan kimia membuat sungai-sungai di sana berubah warna.
“Bahkan ada ungkapan di Pekalongan, ‘kalau sungainya hitam berarti payu’ artinya batik sedang laku,” ujarnya.
“Tapi kita perlu refleksi, apakah keberhasilan ekonomi pantas dibayar dengan kerusakan lingkungan?” katanya menambahkan.
Ia mendorong lahirnya model usaha yang lebih berkeadilan, seperti koperasi batik perempuan dan teknologi ramah lingkungan. Upaya ini, menurutnya, bukan hanya solusi teknis, melainkan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai hidup yang diwariskan batik.
Nilai Budaya yang Bergerak
Romo Gregorius Budi Subanar, SJ, menekankan bahwa batik harus tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia mengingatkan, perubahan zaman memang tak bisa dihindari, namun nilai-nilai di baliknya harus terus hidup.
“Jangan hanya menerima batik sebagai benda mati, tapi lihatlah sebagai simbol yang terus hidup dan bisa diolah sesuai konteksnya,” ujarnya.