YOGYA, AYOYOGYA.COM – Dokumenter Swaradwipa: Di Antara Sunyi dan Bunyi di Jagat Sumba mulai menapaki perjalanan festivalnya dengan tayangan perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival ke-20 (JAFF20). Karya terbaru musikus sekaligus aktor Titi Radjo Padmaja ini memusatkan perhatian pada suara sebuah negeri kepulauan, sebuah suara yang perlahan memudar seiring modernitas mengalir ke pelosok-pelosok Sumba.
Film berdurasi panjang ini menempatkan Jungga, alat musik tradisional Sumba, sebagai poros cerita. Melalui dentingannya, penonton diajak mengikuti perubahan sosial dan budaya yang dialami masyarakat setempat. Kehadiran sosok-sosok seperti Ata Ratu, Rambu Ester, Pura Tanya, dan Haing menegaskan bagaimana para pemain Jungga yang tersisa berjuang menjaga warisan di tengah gempuran nilai baru.
Lebih dari sekadar dokumentasi alat musik, Swaradwipa memotret tantangan yang dihadapi sebuah tradisi yang nyaris hilang, bagaimana ia dipertahankan oleh sebagian, diperdebatkan oleh lainnya, dan perlahan ditinggalkan generasi muda. Film ini bergerak melalui lintas latar keyakinan, ruang hidup perkotaan dan pedesaan, hingga bentang alam Sumba yang menjadi panggung perjalanan budaya itu sendiri.
Perjumpaan Titi dengan Jungga bermula dari sebuah video Ata Ratu yang ia temukan. Ketika menyadari bahwa pemain Jungga kini amat sedikit, ia merasa perlu kembali ke Sumba, tempat yang pertama kali ia kunjungi pada 2008 dan menorehkan kedekatan emosional yang tidak pernah pudar. Dari sinilah film ini lahir.
Dalam proyek debut penyutradaraannya ini, Titi tidak hanya mengarahkan film, tetapi juga menata musik dan memproduserinya bersama Nurman Hakim.
Meski tidak tampil sebagai aktor, pembuatan dokumenter justru membuka ruang baru baginya sebagai musisi maupun pemain film, memperkaya cara pandangnya dalam mengamati manusia tanpa peran dan tanpa naskah. Pilihannya memulai karya dengan dokumenter terinspirasi oleh film-film seperti Shape of the Moon, Jago, dan The Music of Strangers.
Proses produksi membawa tim ke berbagai wilayah, terutama Sumba Timur dan Waingapu. Dari desa ke desa, mereka merekam kehidupan sehari-hari para pemain Jungga, rumah keluarga, ruang adat, tempat ibadah, hingga lanskap Sumba yang luas dan sunyi. Setiap lokasi memperlihatkan kekayaan musik tradisional Indonesia yang kian membutuhkan perhatian.
JAFF dipilih sebagai tempat pemutaran perdana karena alasan yang sangat personal bagi Titi. “JAFF menjadi ruang yang kami rasa paling tepat untuk memulai perjalanan film ini. JAFF dikenal sebagai rumah bagi film-film dokumenter dan kisah-kisah yang berangkat dari budaya lokal, memberikan panggung bagi suara-suara yang sering tidak terdengar, terutama dari wilayah Indonesia Timur.
"Senang sekali bisa membawa Swaradwipa ke JAFF terasa seperti mengembalikan cerita ini ke tempat yang paling hangat menerima dan merayakannya,” ungkapnya.
Antusiasme penonton terbukti tinggi. Tiket pemutaran Swaradwipa: Diantara Sunyi dan Jagat Sumba telah ludes beberapa hari sebelum acara berlangsung. Film ini diharapkan mampu meninggalkan kesan hangat, menghadirkan kedekatan baru dengan masyarakat Sumba, serta mengajak penonton menghargai kembali suara-suara kecil yang turut membentuk identitas bangsa. ***
Artikel Terkait
Luncurkan REEL LIFE Film Camp, JAFF dan Netflix Siapkan Sineas Muda untuk Majukan Perfilman Indonesia
Series Aku Tak Membenci Hujan Tayang Perdana di JAFF, Balut Isu Kesehatan Mental
MAXStream Putar Tiga Film Pendek Bertajuk 'Secinta Itu Sama Sinema' di JAFF 2024
Tutup JAFF 2024, Film 1 Kakak 7 Ponakan Sukses Pukau Penonton yang Relevan dengan 'Generasi Sandwich'
VMS Studios Ramaikan JAFF Market, Umumkan Empat Film Unggulan untuk 2026
Pemain Agak Laen Sapa Pengunjung JAFF Market, Lelang Poster Tembus Rp 22 Juta untuk Korban Banjir
JAFF Market 2025: Amar Bank Perkenalkan Platform Bisnis untuk Pelaku Industri Film
Maxstream Bawa Karya Sineas Muda ke JAFF Lewat Tiga Film Pendek
Film Ikatan Darah Besutan Sineas Jogja Ini Curi Perhatian Dunia, Kini Hadir di JAFF
Finale JAFF 2025, Suka Duka Tawa Ajak Penonton Merayakan Luka dengan Tawa