Nama Jenderal Andika Perkasa yang masih aktif dalam dunia militer juga turut diusung oleh NasDem, padahal dalam aturannya seseorang yang masih aktif di TNI tidak boleh berpolitik bahkan tidak memiliki hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum.
Untuk itu, jika pencalonan Jenderal Andika Perkasa ini benar-benar terjadi, maka ia harus melepaskan status kemiliterannya.
Menurut Tunjung, background militer yang dimiliki oleh Andika adalah sebuah kelebihan tersendiri.
“Perjalanan karir yang panjang dan berpindah-pindah tempat tentu saja memperdalam pengalaman serta pemahaman seorang militer mengenai sebuah daerah. Sosok dengan latar belakang militer ini juga kerap dikenal sebagai sosok yang tegas, ketegasan ini dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai sebuah keuntungan,” terang Kepala Program Studi Ilmu Pemerintahan UMY ini.
Ketiga nama tersebut menurut Tunjung sama-sama memiliki kesempatan untuk benar-benar naik menjadi calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2024 mendatang dengan kompetensi dan kapabilitas yang dimiliki, namun hal ini akan dikembalikan lagi kepada partai politik sebagai kendaraan politik untuk bisa mencalonkan diri.
Lebih lanjut, Tunjung menjelaskan bahwa pemerintah yang terbentuk nantinya adalah pemerintah koalisi dari berbagai partai politik.
Ini disebabkan oleh tidak adanya partai politik yang dapat meraih suara mayoritas. Pencarian partner koalisi yang tepat menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan pilpres ke depannya.
Sejak awal masa kemerdekaan, Indonesia telah dipimpin oleh berbagai rezim pemerintahan dengan jasanya masing-masing dalam memajukan negara, namun masing-masing tokoh juga memiliki titik kelemahan.
Baca Juga: Survei LKPI, 15,3 Persen Responden Pilih Airlangga Hartanto Jadi Kandidat Capres
Diterangkan oleh Tunjung, sosok pemimpin yang ideal bagi bangsa ini adalah seseorang yang bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari semua yang telah dilalui.
Dan pada satu sisi pemimpin harus berorientasi kepada kepentingan rakyat karena Indonesia merupakan negara demokrasi.
Sayangnya dalam rezim saat ini, Indonesia mengalami kondisi state qua state. Artinya, pemerintah masih memikirkan dirinya sendiri dan belum secara penuh berorientasi kepada rakyat.
Demokrasi Indonesia akhir-akhir ini mengalami backsliding atau kemunduran dimana demokrasi Indonesia bukannya maju ke depan dan menjadi established democracy namun mundur lagi kebelakang.
“Yang paling kasat mata kemarin itu adalah kasus Omnibus Law. Rakyat di seluruh Indonesia kompak bergerak turun ke jalan untuk menolaknya, namun pemerintah tetap jalan terus. Jadi kan ndak nyambung apa yang diharapkan oleh rakyat dengan yang dijalankan oleh pemerintah. Lalu adanya UU ITE yang membatasi rakyat untuk berpendapat dan mengeluarkan kritiknya kepada pemerintah. Harapannya, nanti presiden yang terpilih adalah presiden yang mau mendengarkan suara rakyat. Tugas bagi presiden selanjutnya untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada pemerintah. Selain itu kesejahteraan rakyat juga harus menjadi perhatian utama presiden,” pungkasnya.
Artikel Terkait
Masuk 3 Besar Pilihan Capres Hasil Survey, Ini Tanggapan Ridwan Kamil
Survei Capres, Ganjar Pranowo Geser Posisi Anies Baswedan
Ganjar, Prabowo dan Anies Bersaing Ketat pada Survei Capres 2024
Cerita Gubernur DKI Anies Baswedan di Jogja Dapat Teriakan ‘Capres 2024’ dan Didoakan Jadi Presiden