CSO Desak Pemerintah Tunjukkan Komitmen Nyata dalam Isu Iklim di COP30

photo author
- Minggu, 9 November 2025 | 06:07 WIB
Kelompok masyarakat sipil (CSO) menyerukan agar publik ikut aktif mengawasi langkah pemerintah Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, pada 10–21 November 2025. (dok.)
Kelompok masyarakat sipil (CSO) menyerukan agar publik ikut aktif mengawasi langkah pemerintah Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, pada 10–21 November 2025. (dok.)

 

Dari sisi ekonomi, A Azis Kurniawan, Manajer Kebijakan dan Advokasi Coaction Indonesia, mengingatkan bahwa perubahan iklim dapat memicu kerugian hingga Rp544 triliun, termasuk gagal panen dan meningkatnya penyakit terkait iklim. Ia juga menyoroti hasil riset tahun 2024 yang menunjukkan bahwa 39,8% anak muda mengalami eco-anxiety akibat kekhawatiran terhadap masa depan lingkungan.

 

“Padahal kalau pengambil kebijakan lebih serius, ada beberapa manfaat aksi iklim yang positif, yaitu green jobs,” tegas Azis.

 

Ia menilai, aksi anak muda sangat penting untuk mendorong transformasi ekonomi menuju penciptaan lapangan kerja hijau, sekaligus mengkritisi kebijakan Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) Indonesia agar lebih ambisius.

 

Peneliti The Habibie Center, Kunny Izza, menambahkan bahwa aksi individu tetap berperan besar dalam menekan dampak perubahan iklim, terutama menjelang COP30.

 

“Aksi individu masih diperlukan dan perlu diperkuat. Isu prioritas itu pada peningkatan ekonomi, tetapi ada bencana yang mengancam, karenanya perlu memperkuat aksi individu,” ujar Kunny.

 

Senada, Agung Budiono, Direktur Eksekutif CERAH, menegaskan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dengan menjadi Delegasi Rakyat Indonesia melalui laman Indonesiadicop.id. Ia menilai, tekanan publik penting karena komitmen iklim Indonesia di tingkat global belum diikuti implementasi nyata di dalam negeri.

 

“Sebagai contoh, di sektor energi, terdapat inkonsistensi atau gap kebijakan antara apa yang disampaikan pemerintah di level global dan dokumen kebijakan. Misalnya, soal target 100% energi terbarukan di 2035, namun kita melihat sejumlah dokumen justru masih menempatkan energi fosil sebagai pipeline, contohnya di RUPTL 2025–2034 dan RUKN,” jelas Agung.

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Vatikan Umumkan Kondisi Paus Fransiskus Kritis

Senin, 24 Februari 2025 | 07:49 WIB
X