KSPSI Sebut Sudah Saatnya Ojol Dapat Hak Pekerja dan Perlindungan Sosial

photo author
- Minggu, 20 Juli 2025 | 11:55 WIB
Diskusi bertajuk “Mungkinkah Ojol Menjadi Pekerja?” yang digelar di Yogyakarta, Sabtu (19/07/2025). (dok.)
Diskusi bertajuk “Mungkinkah Ojol Menjadi Pekerja?” yang digelar di Yogyakarta, Sabtu (19/07/2025). (dok.)

 

YOGYAKARTA, AYOYOGYA.COM - Isu pengakuan status hukum pengemudi ojek online (ojol) kembali menjadi sorotan. Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Mohammad Jumhur Hidayat, menegaskan pentingnya penetapan status pengemudi ojol sebagai pekerja, bukan sekadar mitra atau freelancer seperti yang selama ini diterapkan oleh perusahaan platform digital.

Dalam diskusi bertajuk “Mungkinkah Ojol Menjadi Pekerja?” yang digelar di Yogyakarta, Sabtu (19/07/2025), Jumhur menyampaikan bahwa jutaan driver ojol di Indonesia bekerja tanpa kejelasan status, tanpa perlindungan hukum, dan tanpa jaminan sosial yang layak.

“Kita mendapat laporan dari bawah dari teman-teman buruh tentang bagaimana kesewenang-wenangan, ketidakadilan, pendapatan yang kecil, jam kerja tidak menentu, tidak ada perlindungan. Akhirnya kita ambil kesimpulan ya sudah distatuskan sebagai pekerja,” ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa meskipun para pengemudi mengikuti instruksi perusahaan, memberikan jasa, dan menerima bayaran, mereka tetap dikategorikan sebagai mitra. Hal ini menyebabkan hak-hak dasar mereka sebagai pekerja tidak terpenuhi.

Menurutnya, langkah KSPSI ini merupakan bagian dari gerakan global untuk memperjuangkan hak para pekerja di sektor ekonomi digital (gig economy). Jumhur mengajak pemerintah, DPR, serta pihak platform untuk duduk bersama dan mencari solusi yang berpihak pada para pengemudi.

Dalam forum yang sama, Jumhur juga mengutip hasil pertemuan International Labour Organization (ILO) yang menyepakati bahwa pekerja di platform digital transportasi layak dikategorikan sebagai pekerja formal dengan fleksibilitas tinggi.

“Artinya bukan pekerja seperti pada umumnya disertai aturan jam kerja delapan jam sehari, harus datang pagi atau pensiun usia sekian,” katanya. Ia menekankan bahwa yang terpenting adalah pengakuan terhadap hak-hak dasar para pengemudi ojol. “Itu yang sebetulnya kita inginkan dan lebih cespleng, karena dalam tanda kutip ketidakpuasan, kekecewaan dan mungkin penderitaan itu sudah terjadi,” jelasnya.

Di Indonesia, kata Jumhur, terdapat 12 undang-undang yang dapat memberikan perlindungan kepada para pekerja. Namun, semua itu hanya berlaku jika pengemudi ojol diakui secara hukum sebagai pekerja. “Jika bukan, maka tidak berlaku,” tandasnya.

Diskusi ini turut menghadirkan perwakilan Driver Ojol Yogyakarta, Agus Sugito, pengamat kebijakan publik D Suyono, serta dimoderatori oleh Ketua DPD KSPSI DIY, Waljid Budi Lestarianto. Dalam diskusi tersebut, Jumhur juga menyentil anggapan yang sering muncul di masyarakat.

“Masih untung mereka (driver ojol) bisa bekerja karena ada aplikator (platform digital). Itu perdebatan yang sudah terjadi sejak 200 tahun silam. Istilahnya zaman dulu disebut tentara cadangan,” katanya.

Ia menilai anggapan tersebut sebagai kemunduran dalam berpikir. “Tidak sahih kalau ada orang mengatakan syukurlah ada aplikator. Kita sebagai bangsa dan manusia bukan sekadar hidup untuk makan tetapi meningkatkan peradaban, termasuk perlindungan, tabungan, punya masa depan, hari tua, bisa mengurus dan menyekolahkan anak,” katanya.

Jumhur juga mengangkat isu transparansi data pekerja sektor ojol. Ia menilai pemerintah tidak memiliki data pasti mengenai jumlah driver ojol yang aktif.

“Kalau di pabrik saya tahu, karena semua harus melaporkan,” ucapnya. Di Yogyakarta, kata dia, diperkirakan ada sekitar 20 ribu hingga 40 ribu driver aktif. Namun, karena tidak ada kewajiban pelaporan dari perusahaan aplikasi, jumlah pastinya masih menjadi tanda tanya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X