AYOYOGYA.COM - Saat ini perekonomian global sedang menghadapi beberapa gejolak yang cukup menarik. Salah satunya adalah munculnya pola pembelian unik yang berasal dari para konsumen muda.
Fenomena ini lebih dikenal sebagai fenomena “doom spending” yang mana ditandai dengan maraknya pola berbelanja berlebihan dan juga impulsif sebagai reaksi dari ketidakpastian ekonomi yang melanda dunia beberapa tahun belakangan ini.
Dosen Program Studi Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Univesitas Atma Jaya Yogyakarta, Api Adyantari, S.A., M.B.A menjadi salah satu yang menyoroti perilaku tersebut.
Kata dia, doom spending terjadi karena adanya pergeseran mindset dan budaya, dari yang awalnya membeli karena kebutuhan, menjadi checkout sebagai pelarian dari stres akibat ketidakpastian finansial.
"Apalagi di era teknologi serba canggih ini, kita bisa berbelanja apapun melalui smartphone saja. Bagi banyak orang, berbelanja online dapat memberikan suntikan dopamin yang meredakan perasaan stres atau cemas terkait masa depan yang tidak pasti," ungkapnya, Kamis (7/11/2024).
Pola berbelanja ini menjadi kebiasaan para konsumen muda, yakni generasi milenial dan Z, yang tumbuh besar di era sosial media yang menormalkan, bahkan menganggungkan konsumerisme.
Baca Juga: Pemkab Sleman Sukses Raih Penghargaan Bhumandala Award 2024
Namun, fenomena doom spending tidak sepenuhnya disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak menentu. Banyak anak muda justru melihat aktivitas belanja sebagai salah satu cara untuk mengekspresikan diri.
Di tengah ketidakpastian yang mereka hadapi ini, kegiatan berbelanja memberikan perasaan sementara yang membuat mereka merasa lebih hebat, keren, dan puas. Perasaan ini semakin kuat ketika mereka mampu membeli barang-barang yang sedang menjadi tren di kalangan teman sebaya. Hal ini menciptakan kepuasan tersendiri dan membuat mereka merasa seolah tidak ketinggalan gaya hidup yang up-to-date.
Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube mendorong fenomena doom spending melalui influencer, konten bersponsor, dan iklan berbayar yang menampilkan produk dan pengalaman tanpa henti. Konten-konten ini menciptakan rasa "takut ketinggalan" atau Fear of Missing Out (FOMO) di kalangan generasi muda. Fenomena ini diperkuat oleh social commerce yang memungkinkan konsumen langsung berbelanja di platform media sosial.
Dengan demikian, konsumen dapat dengan mudah beralih dari yang awalnya terpapar konten promosi, bisa langsung checkout.
Baca Juga: Paslon Nomor Urut 2, Hasto-Wawan Komitmen Wujudkan Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana Jika Terpilih
Generasi Muda Perlu Ambil Langkah Bijak