Ide pengolahan sampah ini bermula dari keprihatinannya terhadap banyaknya residu plastik yang belum mampu diselesaikan dengan tuntas. Sampah-sampah plastik seperti tas kresek, bungkus mie instan ataupun minuman ringan belum bisa ditangani dengan baik.
"Kalau di pemulung, di bank sampah ataupun tempat lain, residu ini bingung mau dikemanakan karena tidak laku dijual,"terang dia.
Baca Juga: Waduh, TPST Piyungan Diprediksi pada 2023 Tak Mampu Lagi Tampung Sampah
Memang, sudah ada pihak yang mencoba mengolah residu plastik menjadi produk berdaya guna lainnya, namun selalu menimbulkan persoalan baru. Seperti ketika dikonversi menjadi minyak tanah, ternyata menimbulkan persoalan pencemaran udara karena plastik tersebut harus dibakar ketika disuling menjadi minyak.
Oleh karenanya, melalui berbagai percobaan akhirnya tim inverter mampu menciptakan tehnologi yang mereka beri nama Senblok. Sebuah alat membuat berbagai conblock dengan bahan residu plastik dan pasir. Keunggulan alat yang mereka ciptakan ini tidak memerlukan pembakaran.
"Konsep kita memang tidak melakukan pembakaran," ujar dia.
Wakil Ketua DPRD Bantul, Nur Subiyantoro yang merupakan warga asli Kanggotan Pleret menambahkan dirinya dan warga mulai mencanangkan Kampung Bijak Sampah.
Nur mengakui residu plastik selama ini menjadi persoalan bagi pengelolaan sampah selama ini. Jikapun sudah diolah, selama ini hanya sebatas memperpanjang usia plastik belum end product. Ketika diolahpun selalu menimbulkan persoalan baru.
Nur mengaku warga Kanggotan Pleret punya mimpi besar yakni tidak ada lagi TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terakhir). Hal ini karena semuanya sudah diselesaikan di masing-masing kampung.
Artikel Terkait
Pengelolaan Sampah Mandiri Menjadi Arah Kebijakan Strategis Pemkab Bantul
Pandemi, Tabungan dari Bank Sampah Ditukar Sembako dan untuk Bayar Sekolah
Ternyata, Peran Pemulung bagi Industri Pengelolaan Sampah Capai 80 Persen
Produksi Sampah Nasional Capai 67,8 Juta Ton, Yuk Bijak Kelolanya
Bupati: Tekan Volume, Pengolahan Sampah Dapat Selesai di Tingkat Desa