BANTUL, AYOYOGYA.COM -- Iwan Satriawan, SH., MCL., Ph.D., Dekan FH UMY mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi secara konseptual harus independen dan imparsial karena kehadirannya merupakan disain checks and balances ketatanegaraan agar mencegah absolutism kekuasaan.
Namun, dalam praktiknya kekuasaaan akan terus mencoba menundukkan Lembaga peradilan itu untuk mengamankan keputusan politiknya. Oleh karena itu wajar dalam sejarah negara manapun terjadi turbulensi politik antara kekuasaan eksekutif, legislative dan peradilan.
“Jika dikaji dari putusannya, perfoma Mahkamah Konstitusi akhir-akhir ini terlihat cenderung menjadi stempel kekuasaan eksekutif dan legislatif. Di tengah turbulensi kekuasaan, apalagi jelang Pemilu 2024, Mahkamah Konstitusi oleh banyak pihak dianggap gagal menjadi pengawal konstitusi dan demokrasi sejati karena putusan-putusannya cenderung tidak berpihak pada prinsip-prinsip konstitusi itu sendiri “, kata dia dalam siaran pers, Selasa (19/7/2022).
Baca Juga: Gugatan Judicial Review Yusril Ditolak , DPD Demokrat DIY: Alhamdulillah, Akhirnya Ketok Palu
Misalnya yang paling kentara adalah ditolaknya puluhan permohonan uji materi ketentuan Presidential Threshold 20% pencalonan presiden dan wakil presiden”, tutur Iwan dalam siaran pers usai Acara Forum Konstitusi di ruang sidang utama gedung AR. Fachrudin A, dengan mengangkat tema “Mahkamah Konstitusi di Tengah Turbulensi Kekuasan”.
Iwan berpendapat Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi lembaga kehakiman yang independen dan imparsial dan kokoh mempertahan prinsip-prinsip konstitusi dan demokrasi sehingga memberikan manfaat kepada kepentingan masyarakat banyak, bukan berorientasi menjaga kepentingan segelintir elit atau oligarki.
Iwan Satriawan juga menyoroti system seleksi hakim konstitusi. Kasus-kasus suap dan pelanggaran kode etik yang terjadi pada hakim konstitusi menimbulkan pertanyaan serius tentang kualitas independensi dan integritas dari hakim Konstitusi yang berdampak pada menurunnya kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi.
Ia mengklaim jika mekanisme seleksi yang tidak bagik akan berimplikasi pada kualitas hakim konstitusi. Oleh karena itu sistem seleksi hakim konstitusi perlu perbaikan.
Narasumber lain, Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M. mengatakan turbulensi kekuasaan disebabkan adanya oligarki dalam tubuh pemerintahan saat ini.
"Mahkamah Konstitusi yang dilahirkan pasca reformasi ternyata terpengaruh dengan turbulensi kekuasaan oligarkhi. Putusan Mahkamah Konstitusi akhir-akhir ini tampak justru menjadi penyokong kemauan orligarkhi, bukan malah mengawal prinsip konsitusi dan demokrasi itu sendiri,” kata Refly.
Baca Juga: Usai Putusan MK tentang UU Ciptaker, Buruh Desak Gubernur Revisi UMP DIY 2022
Ia juga mengatakan jika putusan Mahkamah Konstitusi tidak lepas dari personal individu para hakimnya, yang dipengaruhi oleh preferensi pribadi dan mungkin ada tekanan dari pihak lain, misalnya dalam perkara judicial review presidential threshold.
“Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa presidential threshold konstitusional karena memperkuat sistem presidensiil, sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi. Padahal untuk memperkuat presidensiil, tidak perlu dengan menerapkan presidential threshold melainkan dengan pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif, baik secara kelembagaan maupun fungsinya, serta jaminan keberlangsungan jabatan Presiden. Artinya Presiden hanya bisa dimakzulkan ketika melakukan pelanggaran hukum,” jelasnya
Lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa penetapan presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu bukan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang jadi kewenangan pembentuk Undang-Undang, apabila konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak memberikan batasan yang jelas sebagaimana diatur dalam UU Pemilu.