“Empat anak saya sudah menikah, tinggal satu yang belum. Saat mereka sungkem, rasanya berat sekali. Lagu itu lahir dari rasa haru itu.” tuturnya.
Lagu ini, katanya, ia tulis dengan tetesan air mata. Apalagi ketika ia harus merelakan anak bungsunya, yang kini berusia 25 tahun, melewati momen serupa. “Saya masih punya anak perempuan berusia 25 tahun. Saya paling susah kalau ketika mereka sungkem di hadapan orang tua, mohon doa restu minta izin untuk meninggalkan rumah itu. Ya itu yang saya tulis dengan tetesan air mata.” ucapnya.
Baca Juga: Superindo Community Festival, Wujud Dukungan pada UMKM dan Pemberdayaan Perempuan
Bagi Grego, setiap nada adalah kenangan, setiap lirik adalah perjalanan, dan setiap lagu adalah doa. Konser ini menjadi penampilan orkestra keempat yang ia gelar, dan Grego mengungkapkan keinginannya agar konser semacam ini bisa menjadi tradisi tahunan, bukan hanya di Yogyakarta, tapi juga di kota-kota lain.
“Saya ingin terus membuat konser seperti ini, setahun sekali. Karena bagi saya, musik bukan hanya hiburan, tapi jembatan doa.” imbuhnya.
Persiapan konser ini memakan waktu hingga empat bulan, dengan melibatkan musisi dari berbagai latar belakang dan usia. Di atas panggung, tampak perpaduan antara profesionalisme musikal dan kekhidmatan spiritual. Penonton yang hadir pun larut dalam suasana haru dan refleksi, seolah-olah mereka bukan hanya menonton konser, tetapi ikut berdoa bersama melalui musik.***