ngayogyakarta

Yogyakarta Tegaskan Komitmen Bersama untuk Kesehatan Mental Generasi Z Lewat Kolaborasi Lintas Sektor

Jumat, 10 Oktober 2025 | 15:39 WIB
Peringatan Hari Kesehatan Mental Dunia di Yogyakarta. (Dok.)

YOGYAKARTA, AYOYOGYA.COMA- Peringatan Hari Kesehatan Mental Dunia tahun ini terasa berbeda di Yogyakarta. Bukan sekadar seremoni, tapi menjadi panggung bagi kolaborasi lintas sektor yang menegaskan pentingnya perhatian serius terhadap kesehatan mental, terutama bagi generasi muda. Bertempat di Yogyakarta, kegiatan yang diinisiasi oleh Pusat Rehabilitasi YAKKUM bersama Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM), didukung oleh berbagai organisasi masyarakat sipil seperti LAKI dan Rumpun Nurani, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), tenaga kesehatan, dan komunitas pemuda, berhasil menyatukan beragam perspektif untuk satu tujuan: menjawab krisis sunyi di kalangan remaja dan anak muda.

Dengan mengusung tema “Kesehatan Mental bagi Generasi Muda: Akses, Kesadaran, dan Harapan,” kegiatan ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta yang terdiri dari perwakilan kepala dinas DIY, kepala sekolah menengah atas, pelajar SMA, serta komunitas yang aktif di isu kesehatan jiwa. Kehadiran mereka menegaskan betapa seriusnya isu ini di tengah meningkatnya angka gangguan kesehatan mental di Indonesia.

Menurut data dari WHO, kesehatan mental bukan sekadar ketiadaan penyakit jiwa, melainkan kondisi sejahtera ketika individu mampu menyadari potensinya, mengatasi tekanan hidup, bekerja secara produktif, dan berkontribusi di komunitasnya. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Data nasional memperkirakan bahwa sekitar 30 persen dari total populasi Indonesia, atau hampir 84 juta orang, mengalami gangguan kesehatan mental. Dari jumlah tersebut, sekitar 2,45 juta remaja berusia 10 hingga 17 tahun telah terdiagnosis memiliki gangguan mental. Tekanan akademik, kekerasan dalam rumah tangga, efek buruk media sosial, dan dampak jangka panjang pandemi COVID-19 memperparah situasi. Bahkan, sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran pada 2021 mengungkapkan bahwa 96,4 persen remaja belum memahami cara mengelola stres secara sehat.

Menyadari urgensi tersebut, Pemerintah DIY, melalui sambutan yang disampaikan oleh Dr. Sukamto, S.H., M.H., Staf Ahli Gubernur DIY Bidang Hukum, Pemerintahan dan Politik, menegaskan perlunya tata kelola yang terukur dan berkelanjutan dalam menangani isu kesehatan mental. Dalam sambutannya, ia menyampaikan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur yang mendukung, mulai dari fasilitas kesehatan hingga perlindungan hak bagi kelompok rentan, termasuk mereka yang tidak memiliki dukungan keluarga. “Disinilah pendekatan teknokratis yang bijak diperlukan. Sebuah tata kelola yang didasarkan pada data, terukur, dan berkelanjutan. Pemerintah bertugas menyediakan infrastruktur fisik dan sosial, fasilitas kesehatan, rehabilitasi, dan perlindungan hak, bagi mereka yang paling rentan, termasuk mereka yang tak memiliki keluarga. Tentunya, tugas itu kian organisasi, komunitas, dan pusat kesehatan, baik dalam dimensi preventif maupun kuratif. Mari jadikan momen ini sebagai titik tolak kolektif untuk membangun sebuah ekosistem kesehatan mental DIY yang lebih resilien, integratif, dan berkelanjutan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa penanganan isu ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja, melainkan harus menjadi gerakan bersama. “Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka mengatasi permasalahan di masyarakat baik karena masalah ekonomi, sosial dan lainnya. Di masyarakat sudah dibentuk pendamping dengan penanganan dari instansi pemerintah dan secara mandiri dilakukan masyarakat. Dengan kolaborasi antara pemerintah, instansi swasta seperti YAKKUM, insyaAllah permasalahan kesehatan mental bisa teratasi,” tambahnya.

Di sisi lain, perspektif dari para pelaku lapangan turut memperkaya diskusi. Muhammad Rafli, Program Officer dari Program ASIK milik Pusat Rehabilitasi YAKKUM, menyampaikan bahwa pendekatan yang mereka lakukan fokus pada aspek promotif dan preventif. Ia menyoroti kurangnya ruang diskusi di kalangan pelajar dan mahasiswa, yang akhirnya membuat banyak anak muda mengambil jalan pintas dengan melakukan self-diagnose melalui internet.

“Bicara kesehatan mental adalah bicara versi terbaik dari diri kita. Ini penting untuk kita lirik. Di YAKKUM, kami ada Program ASIK yang berfokus di upaya preventif dan promotif. Kita lihat ada trend yang terjadi pada anak muda. Salah satunya kurangnya ruang diskusi dan saling mendengarkan di tingkat sekolah dan mahasiswa. Upaya itu yang coba kami fasilitasi melalui program ASIK. Ada trend anak muda melakukan self diagnose, nah ini juga yang kita coba pelan-pelan edukasi untuk teman-teman ketika mereka merasa tidak baik-baik saja, banyak ruang-ruang untuk mereka bisa akses ke psikolog di puskesmas misalnya. Teman-teman muda cuma butuh diedukasi, dan didekati. Ketika mereka sudah terbuka untuk cerita, kasus itu bisa kita hilangkan,” paparnya.

Tak hanya dari dalam negeri, pandangan dari luar negeri juga memberikan gambaran bahwa masalah kesehatan mental bersifat global. Prof. Dr. Ryuhei Sano dari Hosei University, Jepang, memberikan ilustrasi bagaimana mahasiswa di Jepang juga menghadapi tekanan besar, terutama saat mencari pekerjaan.

“Di Jepang, ada 9,2% Orang dengan Disabilitas Psikososial (OODP) dari total populasi penduduk. Topik kesehatan mental sedang menjadi isu yang banyak diperbincangkan di Jepang, terutama di universitas. Di Jepang banyak mahasiswa stres ketika cari pekerjaan karena saingannya ketat. Sehingga universitas membantu mahasiswa untuk mendapatkan lowongan kerja bagi mereka yang bertujuan untuk mengurangi tingkat stres mereka,” tuturnya.

Sebagai bentuk partisipasi aktif, anak-anak muda DIY turut merumuskan sejumlah rekomendasi untuk berbagai pemangku kepentingan, mulai dari lembaga pendidikan, pemerintah, komunitas pemuda, hingga masyarakat umum. Mereka mendorong agar sekolah dan perguruan tinggi menciptakan lingkungan yang aman secara fisik dan emosional, menyediakan layanan konseling yang mudah diakses, dan mengintegrasikan pendidikan kesehatan mental dalam kurikulum. Mereka juga menekankan pentingnya dukungan dari pemerintah melalui kebijakan yang menjamin rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas psikososial, serta memprioritaskan layanan kesehatan mental yang ramah anak muda.

Kepada sesama pemuda, mereka menyuarakan pentingnya menjaga keseimbangan hidup, membangun hubungan sosial yang sehat, serta tidak ragu mencari bantuan profesional saat menghadapi masalah emosional. Kepada masyarakat luas, mereka meminta agar sudut pandang terhadap orang dengan gangguan psikososial diubah menjadi lebih empatik, disertai dengan dorongan untuk membangun jejaring dukungan komunitas.

Dari seminar, pameran, hingga ruang berbagi pengalaman, seluruh rangkaian kegiatan ini bukan sekadar kampanye sesaat, melainkan menjadi langkah awal menuju sistem dukungan kesehatan mental yang komprehensif dan berkelanjutan. Dari Yogyakarta, suara generasi muda menggaungkan harapan: bahwa mereka tidak ingin berjalan sendiri dalam menghadapi tekanan hidup. Mereka ingin didengar, dipahami, dan ditemani – oleh sekolah, keluarga, komunitas, dan tentu saja, negara.**

Tags

Terkini