JAKARTA, AYOYOGYA.COM -- Kenaikan harga mi instan diprediksikan naik kisaran 3 kali lipat. Diprediksikan pula kenaikan dilakukan secara bertahap.
Penyebabnya karena bahan baku mi instan dipasok dari Ukraina yang saat ini terganggu negaranya akibat perang. Serangan Rusia ke Ukraina memicu krisis pangan di banyak negara lain.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai kenaikan harga tidak bisa dihindari. Diprediksikan harga akan mengalami peningkatan secara bertahap.
"Kenaikan harga mi instan tidak bisa dihindari. Karena selama enam bulan terakhir pelaku usaha sudah menahan penyesuaian harga jual," katanya, melansir Republika, Rabu (10/8/2022).
Kemudian, ia menjelaskan inflasi di sisi produsen termasuk industri makanan dan minuman dilaporkan mencapai 11 persen pada kuartal ke II 2022. Biaya bahan baku mi instan, gandum naiknya 9,79 persen di pasar spot selama satu tahun terakhir.
Baca Juga: Harga Mi Instant Naik 3 Kali Lipat, Mahasiswa dan Anak Kos Menjerit
Belum ditambah rantai pasok gandum dari Ukraina yang terganggu akibat perang. Sementara produsen makanan dan minuman ada di posisi dilema, tidak menaikkan harga maka marjin menipis. Kalau harga naik, khawatir konsumen dari kelas menengah bawah akan kurangi konsumsi.
"Diperkirakan kenaikan harga akan berlanjut secara bertahap. Belum ada tanda-tanda pasar gandum akan alami normalisasi pasokan," kata dia.
Meskipun, lanjut dia, Ukraina sudah berhasil mengirim gandum lewat pelabuhan Laut Hitam sebesar 26 ribu ton. Tapi itu masih sangat terbatas. "Masih ada estimasi 20 juta ton gandum yang terperangkap di Ukraina tidak bisa diekspor," kata dia.
Total impor gandum Indonesia pada tahun 2021 tembus hingga 11,7 juta ton.
Impor mengalami kenaikan dari 2020 yang masih 10,5 juta ton.
Baca Juga: Warga Indonesia Patut Bangga, Indomie Dapat Predikat Mi Instan Paling Enak Versi New York Magazine
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan, kecenderungan konsumsi gandum yang semakin tinggi cukup mengkhawatirkan.
Ia mencatat, pada tahun 1970 lalu, proporsi pangan berbasis gandum hampir 0 persen. Proporsi melonjak hingga 18,3 persen di tahun 2010 dan menjadi 26,6 persen pada tahun 2020.