BANTUL, AYOYOGYA.COM - Indonesia memiliki sejarah panjang dalam kaitannya dengan gerakan ektremis dan teroris yang mengancam keamanan dan kedaulatan negara. Fenomena terorisme ini juga telah beberapa kali mengguncang keamanan negara. Aksi terorisme yang pernah menjadi perhatian publik tanah air pada tahun 2000, tahun 2001, dan puncak fenomenalnya ketika terjadi peristiwa bom Bali.
Isu Terorisme memang sangat menarik untuk dikupas habis, hal ini juga yang mengantarkan Paryanto mendapatkan gelar Doktornya dengan mengangkat topik Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia tahun 2009-2018.
Ia memandang bahwa kemiskinan menjadi salah satu faktor kemunculan gerakan terorisme. “Munculnya gerakan terorisme disebabkan karena adanya faktor kondisi ketakberdayaan para pelakunya dan tersumbatnya saluran ekspresi dan aktualisasi disebabkan faktor kemiskinan, ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik serta tidak efektifnya manajemen publik,” paparnya dalam siaran pers Rabu (26/10/2022).
Baca Juga: PPATK Temukan Aliran Dana ACT ke Terduga Teroris, Tujuan Transaksi Masih Dikaji Lebih Dalam
Dosen Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta ini juga menyebut jika faktor kerentanan, baik kerentanan dalam konteks kemungkinan keterlibatan sebagai pelaku maupun potensial menjadi korban juga merupakan dampak dari radikalisme dan terorisme.
Paryanto juga mengatakan jika kebijakan pemerintah Indonesia dalam penanggulangan terorisme dipetakan menjadi dua ranah kebijakan “Sejauh ini, Pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan dalam upaya penanggulangan tindak pidana terorisme. Kebijakan yang dijalankan Pemerintah Indonesia dalam penanggulangan terorisme sudah dipetakan ke dalam dua ranah kebijakan, yaitu kebijakan penegakan hukum (hard approach) dan kebijakan berbasis ideologi (soft approach),” lanjutnya.
Tetapi ia juga menyebutkan jika pemerintah dengan segala kebijakannya terlihat belum mampu menanggulangi gerakan terorisme ini. Alih-alih mengalami penurunan, tindakan terorisme justru terus terjadi. Pemerintah Indonesia merespon problem terorisme dengan menggunakan pendekatan hukum dan pendekatan ideologi dalam implementasi kebijakan.
Baca Juga: Ada Kemungkinan Dana ACT Mengalir ke Terduga Teroris, PPATK Blokir 60 Rekening
Menurut Paryanto, pemberantasan terorisme di Indonesia membutuhkan kebijakan yang menyeluruh dan ditopang dengan kesadaran untuk melihat fenomena terorisme dalam pandangan yang multiperspektif. Ia juga menyebutkan jika media masa juga memiliki peran penting dalam menghadapi kasus ini.
“Dalam kasus terorisme, media massa memainkan peran penting dalam upaya mengurangi ancaman terorisme melalui peliputan dan pemberitaannya. Hal ini juga karena media massa merupakan alat dan instrument yang strategis dalam memproduksi dan menyebarkan ideologi, keyakinan, budaya dan nilai tertentu termasuk nilai- nilai kedamaian,” kata Paryanto yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor 1 Bidang Akademik dan Keislaman Universitas Cokroaminoto Yogyakarta.
Baca Juga: Tanam 2061 Pohon Mangrove, bank bjb Dukung Indonesia Tanpa Pencucian Uang dan Pendanaan Teroris
Kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia antara tahun 2009 sampai 2018 juga memiliki perbedaan. Perbedaan kebijakan ini juga didasari oleh perbedaan latar belakang presiden, yaitu Presiden SBY yang berlatar belakang Militer, sedangkan Jokowi berasal dan Non Militer. Ia juga mengkalim jika kebijakan penanggulangan terorisme baik di era SBY maupun Jokowi didasari oleh motif dan konteks masing- masing yang mengarah pada pentingnya kewaspadaan terhadap bahaya terorisme. Ia juga menyebutkan jika kebijakan penanggulangan terorisme dominan pada pendekatan kekuasaan.
“Kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia pada periode 2009-2018 lebih dominan pendekatan kekuasaan daripada pendekatan persuasif. Dominasi pendekatan kekuasaan mengindikasikan terjadinya implementasi kebijakan yang cenderung represif dan rendahnya akuntabilitas publik,” jelas Paryanto yan…