ngayogyakarta

LSF Bangun Budaya Sensor Mandiri, Siapa Dia Tunjukkan Pentingnya Memilih Tontonan

Sabtu, 29 November 2025 | 10:02 WIB
Penguatan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri dan nonton film Siapa Dia di XXI Empire, Yogyakarta, Jumat (28/11/2025). (dok.)

 

 

YOGYA, AYOYOGYA.COM - Upaya Lembaga Sensor Film (LSF) RI membangun literasi tontonan nasional memasuki fase yang lebih aktif dan dialogis. Di tengah era ketika konten sensitif dapat diakses hanya dalam “satu klik”, LSF menegaskan pentingnya kemampuan masyarakat memilih tontonan yang sesuai usia dan konteks. Gerakan literasi ini mendapat sorotan lebih luas berkat hadirnya film Siapa Dia, karya terbaru Garin Nugroho, yang menjadi contoh bagaimana film dapat sekaligus mendidik penontonnya.

“Ke depan, yang paling penting adalah gerakan sensor mandiri,” ujar Garin di sela acara Penguatan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri dan nonton film Siapa Dia di XXI Empire, Yogyakarta, Jumat (28/11/2025).

Baca Juga: Grow Up & Level Up: HMPS BK UMBY Bekali Mahasiswa Hadapi Dunia Kerja 5.0

Garin menekankan bahwa di era digital, literasi tontonan menjadi hal yang mendesak. Bukan hanya soal kebebasan berekspresi sineas, tetapi juga kemampuan penonton untuk menjadi pengambil keputusan utama. “Dunia sudah bergerak ke arah yang lebih partisipatif, penonton bukan lagi objek yang pasif, melainkan subyek yang menentukan. Sensor terbaik ada di tangan penontonnya,” paparnya.

Film Siapa Dia, yang mengisahkan sejarah perfilman Indonesia dari masa pencekalan Orde Baru hingga masa reformasi, bukan hanya berfungsi sebagai karya seni, tetapi juga medium refleksi tentang dinamika ruang tontonan di Indonesia. Film ini memperlihatkan bagaimana penonton perlu dibekali kemampuan memahami konteks sejarah dan narasi yang disajikan, terutama ketika berkaitan dengan isu sensitif.

Transformasi LSF menjadi lembaga yang fokus pada klasifikasi usia juga menjadi bagian penting dari agenda literasi tontonan tersebut. Titin Setiawati, Ketua Subkomisi Sosialisasi LSF, mengingatkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami peran baru lembaga tersebut.

“Masih ada yang mengira LSF itu tukang potong atau nge-blur. Padahal LSF yang baru tidak lagi memotong atau ngeblur,” jelasnya.

Kini, LSF menekankan empat klasifikasi usia antara lain semua Umur, 13+, 17+, dan 21+ sebagai acuan dasar literasi tontonan. Setiap film dianalisis secara menyeluruh, dan catatan diberikan kepada pembuat film tanpa pemaksaan pemotongan.

“Catatan itu dikembalikan kepada pemilik film untuk direvisi. Keputusan memotong atau ngeblur itu bukan LSF. Itu pilihan pemilik film,” ungkapnya.

Dorongan literasi ini lahir dari temuan riset yang mengkhawatirkan: pada 2023 hanya 46 persen tontonan yang dikonsumsi masyarakat sesuai dengan usia penontonnya. Minimnya literasi tontonan juga memicu kasus ekstrem, seperti anak yang membakar rumah karena meniru tontonan di Sukabumi hingga pelajar di Jakarta yang membuat bom rakitan terinspirasi konten daring.

“Karenanya kami menggandeng sineas untuk menyiapkan generasi penonton yang cerdas, kritis, dan berdaya,” imbuh Titin.

Baca Juga: Kemenag Apresiasi Penjaga Kerukunan, Inilah Penerima Harmony Award di Era Pemerintahan Prabowo

Melalui Siapa Dia, publik diperlihatkan bagaimana film dapat membantu membangun kesadaran memilih tontonan. Bukan dengan menggurui, tetapi melalui pengalaman menonton yang menggugah. Film tersebut menjadi contoh konkret bahwa karya layar lebar dapat menjadi bagian dari pendidikan literasi media, juga memperkenalkan bahwa
memahami apa yang ditonton sama pentingnya dengan menikmati tontonan itu sendiri.

Dengan momentum ini, LSF berharap literasi tontonan tidak lagi dipahami sebagai tugas lembaga semata, melainkan kesadaran kolektif seluruh ekosistem perfilman dan masyarakat. Film menjadi ruang belajar, dan penonton menjadi agen yang berdaya.***

Tags

Terkini