AYOYOGYA.COM - Sebagai bagian dari peringatan terjadinya tsunami hebat di Aceh pada 20 tahun silam, film dokumenter SMONG Aceh, hasil produksi Cinesurya, Rumah Dokumenter, dan Christine Hakim Film, diputar pasca terpilih sebagai Official Selection di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JaFF) 2024.
SMONG Aceh mengangkat kisah mengharukan dari bencana tsunami yang menghantam pesisir Aceh pada 26 Desember 2004, yang menelan lebih dari 200 ribu nyawa.
Insiden ini menjadikannya salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah Indonesia. Dalam kisahnya, film dokumenter ini menyajikan cerita melalui perspektif dua orang Aceh yakni Sharina dan Juman.
Baca Juga: Tak Senonoh! Polisi Buru Pelaku Aksi Begal PD di Tegalrejo Yogyakarta
Keduanya memiliki misi mulia untuk memastikan generasi mendatang lebih siap menghadapi ancaman bencana serupa.
Sharina yang berhasil selamat dari tsunami 2004 itu mengabdikan dirinya untuk melakukan riset dan mengedukasi anak-anak mengenai bencana alam.
Sementara Juman yang merupakan musisi dari Simeuleu menggunakan seni untuk menyebarkan pengetahuan mengenai bencana.
Sutradara film Tonny Trimarsanto menjelaskan kata Smong berasal dari bahasa Simeuleu yang berarti tsunami atau bencana. Ia ingin menunjukkan pentingnya pengetahuan lokal dalam menyelamatkan nyawa pada saat bencana.
"Kearifan lokal ini harus terus dipertahankan dan diintegrasikan dalam pendidikan kebencanaan nasional," kata dia dalam sesi diskusi usai penayangan di JAFF.
Film ini juga menampilkan wawancara dengan para peneliti, pengamat, dan tokoh masyarakat, serta membahas hasil riset terbaru mengenai megathrust dan tsunami yang dilakukan oleh OceanX pada Mei 2024.
Hal ini menjadi fokus utama dalam SMONG Aceh, yang ingin menyampaikan pesan kepada generasi muda di daerah rawan gempa dan tsunami untuk membangun kesiapsiagaan melalui pemahaman dan pembelajaran.
"Melalui kombinasi kisah personal dan informasi ilmiah, SMONG Aceh ingin memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya kesiapsiagaan terhadap bencana alam," terangnya.
Sementara Christine Hakim, salah satu produser film, berharap film ini dapat menggugah empati penonton dan mengubah tragedi menjadi narasi harapan.