BANTUL, AYOYOGYA.COM - Perppu Cipta Kerja yang telah ditetapkan Presiden menambah panjang deretan pelanggaran hak perempuan.
Berdasarkan fakta di lapangan, banyak perusahaan yang melanggar hak pekerja wanita.
Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan pada tiga tahun terakhir mencatat sejumlah kasus diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran hak maternitas yang dialami oleh pekerja perempuan.
Hal ini dapat terjadi dikarenakan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak lagi berlaku setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan. Ditambah lagi penguatan pada Perppu Cipta Kerja yang meniadakan hak-hak pekerja wanita ini.
Dr. Ane Permatasari, S.IP., MA selaku perwakilan dari Pusat Studi Gender, Anak dan Disabilitas UMY menuturkan Perppu Cipta Kerja pada Pasal 79 ayat (5) menjelaskan, Pelaksanaan jam kerja bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Baca Juga: Bikin Ngamuk! Penetapan Hari Kerja Perppu Ciptaker Bikin Deretan Panjang Kerugian Pekerja
Menurut Ane, hal ini membuat jarak antara pengusaha dan pekerja.
”Penyerahan keputusan hak pekerja wanita kepada pengusaha atau perusahaan membuat jarak. Dimana, terdapat kemungkinan pengusaha tidak akan memasukkan hak-hak tersebut. Dan hal ini ke depannya tidak dapat dipermasalahkan secara hukum,” ucap Ane yang juga merupakan dosen Ilmu Pemerintahan UMY ini lagi.
Banyak yang dapat dikritisi dari Perppu Cipta Kerja ini. Seperti tidak diaturnya ketentuan pengangkatan pegawai tetap dalam jangka waktu tertentu, pengurangan hari libur, pemberian pesangon kepada pekerja yang di PHK dan lainnya.
"Yang menjadi perhatian sejak lama memang kepentingan dari pekerja yang dapat dijamin dengan adanya peraturan yang mengikat. Bukan hanya mementingkan kepentingan investor yang akan menanam benih di Indonesia," ungkap Ane.
Begitu pula dengan peraturan mengenai hak-hak pekerja wanita yang juga harus diatur secara eksplisit dalam peraturan.
“Hak seperti cuti haid dan melahirkan bagi pekerja wanita harus diatur secara eksplisit. Harapan ini dapat kita serahkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Kita berharap MK dapat menimbang kembali kepentingan masyarakat khususnya para pekerja Indonesia,” ujar Ane yang merupakan pemerhati perempuan.