umum

Pameran “Living Lines” Hadirkan Ragam Tafsir Seniman terhadap Alam

Sabtu, 6 Desember 2025 | 05:49 WIB
Pameran “J+ Art Awards: Living Lines” di ARTOTEL Suites Bianti Yogyakarta, yang resmi dibuka pada Jumat (5/12/2025). (dok.)

YOGYAKARTA, AYOYOGYA.COM – Pameran “J+ Art Awards: Living Lines” di ARTOTEL Suites Bianti Yogyakarta, yang resmi dibuka pada Jumat (5/12/2025), menjadi ruang pertemuan tiga bahasa visual berbeda dalam membicarakan alam. Bukan hanya soal kritik ekologis, melainkan tentang cara setiap seniman mengolah pengalaman personal, spiritual, hingga teknis untuk membaca ulang hubungan manusia dengan lingkungannya.

Melalui pendekatan estetika yang beragam, tiga seniman yaitu Oceu Apristawijaya, Oetje Lamno (Uce Alamsyah Lubis), dan Becky Karina memperlihatkan bahwa isu lingkungan tidak hanya diartikulasikan lewat pesan keras, tetapi juga melalui pilihan simbol, kedalaman spiritual, hingga observasi mikroskopik.

Oceu Apristawijaya, misalnya, menggunakan metafora visual yang kuat dalam empat karyanya: Tumblrearth, Urban Forest, Restoration, dan Waiting for the Rain. Ia menggambarkan manusia sebagai sosok yang menjauh dari alam hingga merasa berada di atasnya, sebuah relasi timpang yang menurutnya berujung pada bencana.

Baca Juga: Proyek Restorasi 20 Tahun di Paliyan Tunjukkan Keberhasilan Rehabilitasi Hutan Karst

"Manusia bagian dari alam ini, tapi kadang merasa lebih di atas. Seperti sekarang ini akibatnya banjir di Sumatra," ujarnya.

Meski begitu, Oceu tetap menyisipkan harapan melalui pemilihan warna. Bagi sang seniman, optimisme tetap perlu dihadirkan sebagai ajakan agar manusia memperbaiki hubungan dengan alam.

"Secara makna, setiap yang kelam ada harapan," katanya.

Sementara itu, karya Oetje Lamno menempuh jalan berbeda. Dua karyanya, The Mind of Attraction dan Fatamorfosa, mengolah spiritualisme sebagai pintu masuk memahami alam. Oetje menempatkan perjalanan batin sebagai fondasi penciptaan—proses yang ia sebut memerlukan waktu panjang karena harus kembali pada spiritualitas yang lebih purba dibanding konsep agama.

"Kesulitannya tentang pemahaman spiritualisme, saya butuh waktu sekitar 2 tahun. Spiritualisme sebelum orang menyebut agama sudah eksis dulu. Itu yang saya kumpulkan untuk membuat karya seni," ungkapnya.

Berbeda lagi dengan Becky Karina yang menghadirkan “keheningan” sebagai metode berkarya. Melalui Resting Where Imagination Blooms, Becky menyoroti detail kecil seperti daun, bunga, dan struktur mikroskopik yang sering tidak diperhatikan dalam keseharian.

"Proses ini banyak melihat unsur daun, bunga, kalau kita mikroskop detail. Itu saya coba tuangkan karena sering terabaikan," tuturnya.

Bagi Becky, melihat alam berarti mendekat pada hal-hal kecil yang selama ini hanya dianggap latar.

General Manager ARTOTEL Suites Bianti Yogyakarta, Reza Farhan, menambahkan bahwa “Living Lines” menghadirkan lebih dari sekadar karya visual para finalis J+ Art Awards. Pameran ini merangkum perspektif seniman dari keseharian, budaya, dan refleksi ekologis sekaligus menjadi jembatan antara talenta dari 42 negara dan ruang publik hotel.

Baca Juga: Bosan Gudeg Manis? Ini Pilihan Gudeg Gurih dan Melegenda di Jogja

Halaman:

Tags

Terkini