"Indonesia memang aktif selama COP, terutama mengenai perdagangan karbon dan pendanaan iklim, tetapi dua keputusan besar yang sudah diteken di COP30 justru memperlihatkan minimnya keterbukaan,” jelasnya.
Mutia menyinggung dua keputusan penting yaitu perjanjian perdagangan karbon melalui Article 6.2 dengan Norwegia yang dinilainya berisiko karena minim penjelasan publik, serta komitmen pendanaan satu miliar dolar untuk Tropical Forests Forever Facility (TFFF) yang dinilai belum jelas dari sisi tata kelola hingga jaminan perlindungan hak masyarakat adat. Ia mengingatkan bahwa banyak kelompok masyarakat sipil global menilai TFFF terlalu berfokus pada finansialisasi hutan.
Sebagai salah satu perwakilan masyarakat sipil yang mengikuti COP30 hingga penutupan, Mutia menekankan harapan besar terhadap pemerintah Indonesia. Ia menyerukan keterbukaan proses serta keberpihakan yang nyata bagi masyarakat terdampak.
“Dan yang paling penting memastikan suara masyarakat adat dan komunitas lokal mendapat ruang yang layak dalam proses transisi energi dan perlindungan hutan,” tegasnya.***