Program fortifikasi beras ini juga mendapat dukungan teknis dari organisasi TeknoServe, melalui koalisi internasional Millers for Nutrition. Evelyn menjelaskan bahwa pihaknya memberikan pendampingan langsung kepada penggilingan padi yang ingin memproduksi beras fortifikasi, mulai dari pelatihan teknis, konsultasi produksi, hingga pengujian kualitas.
“Kami bantu mereka belajar cara membuat kernel beras yang baik, mencampur beras fortifikasi agar lebih homogen, sampai mendukung uji laboratorium sesuai standar nasional,” jelas Evelyn.
Bantuan ini diberikan secara gratis, terutama bagi penggilingan kecil dan menengah yang kesulitan menanggung biaya uji mikronutrien. Evelyn menambahkan, antusiasme pelaku usaha terhadap program ini semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir.
“Mereka melihat ada peluang bisnis sekaligus kontribusi untuk kesehatan masyarakat. Banyak yang mulai tertarik belajar bagaimana cara produksi dan investasinya,” ujarnya.
Ia menyakini fortifikasi beras menjadi solusi efektif karena tidak mengubah kebiasaan makan masyarakat Indonesia.
“Kalau fortifikasinya dilakukan dengan benar, nasi tidak akan berubah rasa maupun warna. Masyarakat tidak perlu menambah suplemen terpisah karena zat gizinya sudah ada di dalam beras,” jelas Evelyn.
Ia juga menyoroti fenomena “hidden hunger” atau kelaparan tersembunyi, yaitu kekurangan zat gizi mikro yang tidak selalu terlihat dari kondisi fisik, namun berdampak besar terhadap kesehatan.
“Dua dari tiga ibu hamil di Indonesia mengalami anemia, dan hal ini berdampak pada bayi yang lahir dengan berat badan rendah atau stunting,” ungkapnya.