"Wiro Sableng" dan Pendekar Masa Depan

photo author
- Kamis, 13 September 2018 | 11:44 WIB
Wiro Sableng
Wiro Sableng

Wiro bukanlah Naruto, bukan Batman, bukan pula Boboho yang bulat dan lucu itu. Wiro adalah Wiro; “anak baru” di jagat persilatan yang patuh kepada Sinto Gendeng, gurunya. Kurang lebih itulah yang ditunjukkan dalam sekuel pertama film “Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212”.

Sinto Gendeng (Ruth Marini) menitah Wiro Sableng (Vino G. Bastian) untuk meringkus Mahesa Birawa (Yayan Ruhiyan). Mahesa adalah mantan murid Sinto yang berkhianat karena melanggar ajaran yang diberikan kepadanya.

Di perjalanan, Wiro malah terlibat pertempuran dengan komplotan yang akan meringkus anak dari Raja Kamandaka. Pertemuan dan pertempuran ini ternyata beririsan dan membawa Wiro kepada sosok yang akan diringkusnya, yang juga telah membunuh kedua orang tuanya.

Sebuah film, terlepas hasil kerja sama dengan studio hollywood atau bukan, haruslah menyajikan karya terbaiknya. Meski begitu, kerja sama antara rumah produksi Indonesia dengan rumah produksi hollywood bisa menjadi salah satu cara agar film Indonesia dilihat dunia, bukan lagi dilirik.

Tentu itu hanya salah satu cara yang bisa dilakukan. Sebelumnya, banyak film Indonesia yang ikut berbagai festival bergengsi di luar negeri. Hasilnya sangat membanggakan. Terbaru, film “Kucumbu Tubuh Indahku” garapan sutradara Garin Nugroho dan produser Ifa Ifansyah mendapatkan enam nomine di Venice Film Festival Awards, Italia. Selain itu, film “Kado (A Gift)” karya sutradara Aditya Ahmad memenangi kategori film pendek di festival tersebut.

Hal tersebut membuktikan rumah produksi film Indonesia juga mampu bersaing di Eropa, bahkan dunia. Terutama tema-tema lokal yang ditawarkan.

Terkait kerja sama rumah produksi 20th Fox Century dengan Lifelike Pictures yang menggarap film Wiro Sableng, akan ditemukan teknik CGI, pencahayaan, dan pengambilan gambar yang rapi seperti film-film Hollywood.

Dari segi kostum, make up, properti, dan musik yang disajikan pun “khas Hollywood”. Keempat segi tersebut lebih menonjolkan sisi artistik daripada kesan lawas, meskipun tidak meninggalkan kesan lawas itu sendiri. Misalnya, sekilas, pada beberapa adegan, kita akan terasa film ini seperti “King Arthur: Legend of Sword” yang digarap sutradara Guy Ritchie. Musik perkusi dan penyerangan kolosal saat malam hari menguatkan kesan tersebut. Meski begitu, kekhasan keduanya sangatlah berbeda.

AYO BACA : Cetak Generasi Literatur ala SMP Laboratorium UPI Kampus Cibiru

Menariknya, di film yang menghadirkan banyak sekali tokoh ini, baik aktor lama maupun pendatang, aktingnya perlu diapresiasi lebih.

Secara umum, akting yang diperankan setiap tokoh berhasil, meski adapula aktor yang dari dialog dan gerak tubuh masih kurang.

Sebut saja aktris muda Ruth Marini yang memerankan Sinto Gendeng. Kualitas peniruan suara, gestur, dibantu make up yang identik, menjadikan peran Sinto Gendeng begitu hidup.

Adapula Aghniny Haque yang memerankan Raramurni. Kecantikan dan kemampuan bela dirinya cukup menyorot perhatian. Padahal ini adalah peran pertamanya di layar lebar.

Akting Lukman Sardi pun berhasil menyembunyikan kejahatan di balik kepatuhannya. Dengan gestur, suara, dan kepala pelontosnya, karakter yang dibawakannya berhasil melanjutkan jalan cerita yang terbilang kurang secara dinamika.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Peringatan HUT Kota Jogja dan Hegemoninya

Senin, 10 Oktober 2022 | 11:30 WIB

Sebuah Catatan Tentang Haul 5 Ulama DPW PKB DIY

Jumat, 22 April 2022 | 14:00 WIB

Catatan Sederhana Muktamar PBNU di Mata Mahasiswa

Senin, 27 Desember 2021 | 19:00 WIB
X