YOGYAKARTA, AYOYOGYA.COM -- Perjuangan masyarakat menghadapi Covid-19 sejak pertama kali dinyatakan pandemi oleh WHO pada awal Maret 2020 terus berlanjut.
Saat ini, setidaknya 116 juta kasus positif di seluruh dunia telah terlacak pada tahun ini, dan 1,5 juta di antaranya berada di Indonesia. Situasi ini menempatkan Indonesia di peringkat pertama dengan kasus positif terbanyak di Asia Tenggara sejauh ini.
Seiring dengan jumlah kasus positif di Indonesia, peningkatan limbah medis tidak bisa dihindari. Limbah medis seperti cairan medis, masker sekali pakai, jas hazmat dan sarung tangan tergolong limbah bahan berbahaya dan berbahaya (B3).
Perlu penanganan khusus saat membuangnya karena selain mencemari lingkungan, limbah B3 juga dapat menyebabkan orang tertular penyakit menular.
Menurut hasil penelitian LIPI, virus corona dapat bertahan hingga 21 hari di permukaan alat pelindung diri (APD) dan bergantung pada bahan yang digunakan. Hal ini dapat menimbulkan cluster kecil yang tidak terdeteksi jika pengelolaan limbah dilakukan tanpa meminimalkan penularan virus.
Baca Juga: Pemulihan Sociopreneur Saat Pandemi Soprema Fisipol UGM Dilaunching
Pengelolaan Limbah
Menurut Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur tentang limbah B3, pengelolaan limbah harus dilakukan oleh pihak yang menghasilkan limbah.
Namun, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga 2019, tercatat dari 2.877 rumah sakit di Indonesia, baru 117 yang memiliki izin perawatan B3. Tidak semuanya memiliki standar yang sama.
Hal ini karena dari 117 rumah sakit, hanya 111 yang menggunakan insinerator. Enam rumah sakit lainnya menggunakan autoklaf. Tercatat, tumpukan sampah medis akibat Covid-19 hingga Februari 2021 mencapai 6 juta ton.
Sebuah studi baru-baru ini memperkirakan limbah medis di Asia melaporkan bahwa Indonesia harus menangani setidaknya
20 ton limbah medis dan 159 juta masker sekali pakai digunakan setiap hari.
Terbatasnya jumlah rumah sakit yang diperbolehkan untuk menangani limbah B3 menyebabkan terbatasnya penanganan dan mengakibatkan penumpukan limbah B3. Berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan.
Baca Juga: Pandemi Vakum 2 Tahun, Bantul Ekspo Jadi BCE, Apa Itu?
Pandemi juga menyebabkan penyebaran sumber limbah medis tidak hanya dari operasional pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit, tetapi juga dari berbagai limbah domestik dan industri untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Salah satu tumpukan sampah medis yang dibuang sembarangan ditemukan di kawasan Teluk Jakarta. Limbah B3 menyumbang 15% dari total sampah di Teluk Jakarta dan cenderung meningkat 5% selama pandemi.