SLEMAN, AYOYOGYA.COM – Kehadiran Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai superholding BUMN dinilai tidak cukup hanya dilihat dari besarnya aset yang dikelola, tetapi juga dari sejauh mana tata kelola, transparansi, dan mekanisme pengawasan dapat berjalan efektif. Hal ini mengemuka dalam Round Table Discussion (RTD) jilid II yang digelar Nagara Institute bersama kanal politik Akbar Faizal Uncensored (AFU) di Yogyakarta.
Forum yang mengangkat tema ‘Menghitung Risiko dan Harapan Super Holding BUMN Danantara’ tersebut menyoroti pentingnya peran publik dan pemangku kepentingan dalam mengawal arah kebijakan Danantara sejak dini. Mengingat Danantara lahir sebagai entitas strategis baru, diskursus tidak hanya berkutat pada peluang ekonomi, tetapi juga pada potensi risiko kelembagaan yang menyertainya.
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menegaskan bahwa pembentukan Danantara merupakan keputusan politik strategis yang bertujuan mengubah pola pengelolaan aset negara agar lebih berorientasi jangka panjang dan tidak lagi terikat pada siklus anggaran tahunan.
"Danantara ingin kita keluarkan dari APBN untuk memberikan perspektif jangka panjang. Dividen BUMN dikelola Danantara dan diinvestasikan untuk jangka panjang. Kurvanya bukan pendek, tapi jangka panjang. Ini sudah dikuatkan dalam UU Nomor 1 dan 16 Tahun 2025," ungkap Misbakhun, Selasa (16/12/2025).
Transformasi tersebut diperkuat dengan perubahan kelembagaan Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN), yang sekaligus menegaskan posisi Danantara sebagai pengelola terintegrasi aset BUMN. Menurut Misbakhun, kebijakan ini membuka ruang optimalisasi nilai aset negara melalui investasi strategis.
"Ini yang kemudian harus dipahami oleh masyarakat secara luas," ucapnya.
Namun demikian, besarnya nilai aset yang diperkirakan mencapai USD 900 miliar serta kompleksitas pengelolaan ratusan anak usaha BUMN justru menuntut sistem pengawasan yang lebih ketat. Ekonom dan pakar kebijakan publik Wijayanto Samirin menilai keberhasilan Danantara sangat bergantung pada konsistensi tata kelola profesional yang terbebas dari kepentingan politik jangka pendek.
"Orientasinya jangka panjang. Nggak mungkin Danantara ini sukses kalau siklusnya politik 5 tahunan. Apalagi siklus APBN tahunan, nggak mungkin. Danantara harus kita kawal bisa berjalan sesuai rel," kata Wijayanto.
Ia juga mengingatkan bahwa perubahan model pengelolaan BUMN membawa konsekuensi risiko yang tidak kecil apabila tidak dikawal dengan serius.
"Kita juga terlalu lama mengelola BUMN dengan cara lama, dan semuanya tahu hasilnya. Jadi ketika kita memutuskan untuk mengelola ini dengan cara baru lahir Danantara maka ini memberikan potensi, tapi kita harus ingat, ini potensi membaik atau potwnsi memburuk, sehingga memang harus kita kawal betul agar Danantara ini bisa berjalan sesuai rel, profesional, tidak terlalu banyak politisasi," katanya menambahkan.
Wijayanto menyebut setidaknya terdapat lima aspek penting yang harus menjadi perhatian publik, mulai dari sumber pendanaan hingga mekanisme akuntabilitas.
"Aspek tersebut mencakup sumber pendanaan, tujuan investasi, strategi manajemen portofolio, mitigasi risiko, serta mekanisme akuntabilitas dan pengawasan," ungkapnya.
Peringatan serupa disampaikan pakar ekonomi Ferry Latuhihin yang menilai risiko merupakan bagian tak terpisahkan dari bisnis berskala besar seperti Danantara. Tantangan sesungguhnya terletak pada kemampuan manajemen dalam mengelola dan memitigasi risiko secara profesional.
"Yang namanya bisnis pasti ada risiko ya, saya rasa dimana-dimana begitu. Tapi masalahnya, adalah bagaimana pemangku jabatan di Danantara memitigasi risiko tersebut. Potensi yang ada di dalam Danantara itu sendiri cukup besar," ungkapnya.