JAKARTA, AYOYOGYA.COM – Indonesia kembali menyatakan dukungannya terhadap aksi iklim global dalam Konferensi Perubahan Iklim ke-30 (COP30) yang berlangsung di Belem, Brasil hingga 21 November. Pemerintah menegaskan kesiapan untuk mempercepat transisi energi dan mencapai target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Namun, berbagai elemen masyarakat sipil menilai komitmen tersebut masih belum sejalan dengan prinsip keadilan iklim.
Dalam forum internasional tersebut, Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Perubahan Iklim yang juga Ketua Delegasi RI, Hashim Djojohadikusumo, menegaskan dukungan penuh Indonesia terhadap Perjanjian Paris. Ia menyebut pemerintah membidik net zero emission paling lambat 2060 tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
“Strategi pertumbuhan hijau kami tercermin dan terukir dalam dokumen komitmen kontribusi nasional kedua (SNDC), yaitu target 1,2 gigaton setara karbon dioksida pada skenario rendah dan 1,5 gigaton setara karbon dioksida pada skenario tinggi pada tahun 2035,” ujar Hashim dalam pidato di Leader Summit.
Hashim menekankan pentingnya memastikan seluruh pihak turut serta dalam transformasi menuju ekonomi hijau. “Aksi iklim harus adil, inklusif, dan berpusat pada manusia,” tegasnya. Ia juga menyebut alokasi 1,4 juta hektar hutan adat untuk masyarakat sebagai langkah nyata Presiden Prabowo dalam mewujudkan keadilan ekologis dan sosial.
Namun, pernyataan ini belum sepenuhnya meyakinkan aktivis lingkungan yang hadir langsung di COP30. Mereka menilai kebijakan yang diambil pemerintah masih menyimpan bias kepentingan.
“Keberpihakan masih dipertanyakan selama komoditas yang menimbulkan konflik seperti fosil dan nikel tidak dikeluarkan dalam skema transisi energi berkeadilan untuk mendukung aksi iklim,” kata Masagus Achmad Fathan Mubina dari Trend Asia.
Fathan menilai komitmen pemerintah hanya akan menjadi retorika jika perlindungan terhadap masyarakat terdampak, termasuk masyarakat adat, tidak menjadi prioritas. “Proyek-proyek bioenergi yang dijalankan tanpa Persetujuan Atas Dasar Informasi Sejak Awal Tanpa Paksaan menunjukkan belum adanya komitmen perlindungan masyarakat dan ruang hidupnya yang terancam karena kebijakan transisi energi pemerintah,” ujarnya.
Suara kritis juga muncul dari Greenpeace Indonesia. Rosi Yow, perwakilan dari Papua, mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam menjalankan prinsip transparansi.
“Indonesia menyampaikan target transisi energi di pembukaaan COP30 namun di sisi lain industri ekstraktif yang mengambil keuntungan dari eksploitasi mineral dan deforestasi masif menjadi sponsor Paviliun Indonesia selama kegiatan ini,” ucapnya.
Rosi juga menyoroti minimnya pelibatan masyarakat adat dalam rumusan kebijakan. “Semoga COP30 menghasilkan keputusan yang meyakinkan masyarakat adat untuk dilibatkan karena selama ini mereka tidak mengetahui apa rencana pemerintah,” harapnya.
Sementara itu, Fadilla Miftahul dari Climate Rangers menilai posisi Indonesia dalam negosiasi iklim global masih terlalu berhati-hati dan belum mencerminkan urgensi krisis.
“Pembahasan masih berkutat di perdagangan karbon yang fokusnya hanya memindahkan emisi, bukan mengurangi emisi. Kalau tetap seperti ini, akan berpengaruh pada generasi yang akan datang,” ujarnya.
Fadilla juga menyoroti minimnya ruang bagi generasi muda untuk terlibat dalam proses kebijakan iklim. Sebagai bentuk advokasi, ia menyerahkan dokumen hasil konsolidasi ribuan anak muda dari lebih 150 negara kepada Delegasi Indonesia, yang menyerukan transisi energi berkeadilan dan pendanaan tanpa utang.
“Dokumen ini adalah pernyataan penolakan kami sebagai generasi yang mewarisi krisis,” tegas Fadilla.***