Ada juga akting dari Marcella Zalianty yang sepanjang film hanya mengutarakan dialog yang kurang dari sepuluh kali (jika tidak salah). Namun, dengan raut muka, sikap duduk, dan embusan napasnya sudah cukup menunjukkan segala isi hatinya.
Namun, akting dari Wiro sendiri yang sableng dalam artian “agak gila” cukup bisa diwakilkan oleh akting Vino. Hal ini karena beberapa dialog terdengar “kurang renyah”. Padahal jika berhasil “dikunyah”, lontaran-lontarannya akan “sangat pecah”.
Bisa dibilang, sikap dan lisan dari Wiro yang kurang renyah itu masuk akal bila mengingat bahwa Wiro hanya tinggal berdua dengan Sinto selama 17 tahun di hutan. Alhasil, lelucon-leluconnya pun sudah tentu datang dari Sinto. Oleh karenanya, ketika dia masuk ke lingkungan baru, lontaran kata-kata lucunya membuat kita tertawa, dan kadang kita menertawakan “kegaringan” yang dilontarkannya.
AYO BACA : Metode Sugestopedia Membentuk Pribadi Berbudi Luhur
Ditambah, jika ini sekuel pertama, maka kemungkinan besar, karakter Wiro di sekuel-sekuel selanjutnya akan lebih berkembang.
Dari segi pertarungan, film ini menunjukkan variasi-variasi teknik silat yang jarang bahkan mungkin belum ditunjukkan dalam film Indonesia sebelumnya—sejauh yang penulis tahu.
Sayangnya, aktor-aktor yang terlampau banyak dari pihak komplotan (hitam) dan pihak Wiro Sableng (putih) belum tergali secara kisah. Padahal setiap pendekar memiliki kekuatan yang identik. Namun, lagi-lagi, durasi film membatasinya. Berbeda seperti Naruto yang mengisahkan Akatsuki, misalnya. Di film ini, tokoh-tokoh muncul di tengah, lalu mati menjelang akhir. Terlalu cepat dan sempit.
Secara umum, sampai akhir film, tokoh yang dihadirkan sangat spesifik dan cukup mewakili peran dan tujuannya masing-masing—meski durasi tampilnya terjepit.
Yang mengejutkan justru hadir ketika Gunawan Maryanto yang memerankan Muka Bangkai, tiba-tiba muncul setelah credit film.
Dengan suara serak, muka pucat, dan rambut putih panjang, ia berkata di tengah remang-remang kepada seorang lelaki (Abimana Aryasatya), “Namamu Pangeran Anom kuganti menjadi Pangeran Matahari dari Puncak Merapi. Kau dengar itu?! Namamu sekarang adalah Pangeran Matahari!”
Kemunculannya—yang hanya beberapa detik—di akhir film menjadikan film ini lebih berarti. Terlebih kesan Muka Bangkai yang lebih kuat dan berpengalaman dari Mahesa Birawa menjadi tantangan baru bagi Wiro sebagai “anak baru” jagat persilatan yang telah mengalahkan Mahesa Biarawa.
Selain itu, “kejutan” ini menyelamatkan dinamika film yang dari awal sampai akhir terbilang lamban.
Penulis: S. Inayati